Saturday, October 15, 2011

Pesona Kehidupan Tradisional di Tengah Modernitas

Posted by wahyu cahyani at 8:45 AM 0 comments

Pesona Kehidupan Tradisional di Tengah Modernitas

            Apa yang ada di benak kita tentang kebudayaan? Apa yang kita pikirkan tentang sebuah suku yang berada di Kalimantan, yakni Suku Dayak? Sebagai kaum muda, apakah kita mengenal dan memahami kebudayaan dalam suku tersebut?
            Indonesia merupakan negara yang majemuk atau heterogen. Bangsa kita mempunyai beraneka ragam suku bangsa, budaya, agama, dan adat istiadat (tradisi). Semua itu tercermin dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Misalnya dalam upacara adat, rumah adat, baju adat, nyanyian dan tarian daerah, alat musik, dan makanan khas. Kelompok etnik atau suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang anggota-anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama. Berdasarkan penelitian, Indonesia merupakan negara dengan suku bangsa yang terbanyak di dunia. Terdapat lebih dari 740 suku bangsa atau etnis, dimana di Papua saja terdapat 270 suku. Setiap suku memiliki kebudayaannya masing-masing. Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah artinya adalah  hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
            Apabila Amerika memiliki Suku Indian yang ternama itu, Indonesia juga tidak kalah. Salah satu suku yang terbesar di Kalimantan adalah Suku Dayak. Suku asli dari Kalimantan ini dapat dikatakan sebagai Indiannya Indonesia. Kata Dayak berasal dari kata “Daya” yang artinya hulu, untuk menyebutkan masyarakat yang tinggal di pedalaman atau perhuluan Kalimantan. Kini banyak pula masyarakat Suku Dayak yang tinggal di kota kabupaten dan provinsi. Mereka mempunyai kemiripan adat istiadat dan budaya serta masih memegang teguh tradisinya.
            Di era modern seperti sekarang ini, banyak tantangan yang dihadapi kaum muda. Salah satunya adalah arus teknologi informasi yang berkembang sangat cepat. Hal ini mengakibatkan kaum muda kurang mengenal kebudayaannya sendiri. Sebenarnya, Suku Dayak memiliki berbagai kebudayaan yang sarat akan nilai luhur. Hal ini terlihat dalam kehidupan mereka yang masih sangat memegang tradisi luhur nenek moyang. Salah satunya masyarakat di Desa Sungai Bawang dan Pampang di Karang Mumus, Kalimantan Timur. Jarak yang begitu jauh dari perkotaan menyebabkan tempat ini masih sangat tradisional. Salah satu budaya unik yang ada di masyarakat tersebut adalah memanjangkan telinga. Bayangkan jika telinga kita memakai banyak anting! Mungkin kita akan merasa kesakitan akibat beban dari banyaknya anting tersebut. Berbeda dengan budaya yang telah berkembang di Suku Dayak. Memiliki telinga panjang merupakan sebuah kebanggaan. Bukan tanpa alasan mereka melakukan hal seperti itu. Sejarah membuktikan pria maupun wanita suku Dayak jaman dulu beralasan, jika memiliki telinga panjang akan dapat menunjukan status bangsawan yang ia sandang. Tak hanya itu, wanita yang memiliki telinga panjang akan merasa lebih cantik. Aneh memang, di dunia modern seperti saat ini, masih ada kebudayaan yang unik dan tidak masuk akal. Lebih dari itu, telinga yang berukuran panjang juga bisa menunjukan umur seseorang. Pemasangan anting tersebut dilakukan setahun sekali. Jika jumlah anting yang menggantung di telinganya berjumlah 50 buah, maka dapat dipastikan umur orang tersebut adalah 50 tahun.
Masyarakat Suku Dayak memiliki banyak sekali sub suku. Masyarakat setempat merupakan janin daerah multietnik. Masing-masing sub suku tersebut tentunya juga memiliki bermacam-macam kebudayaan yang unik. Kehidupan mereka yang masih tradisional menyebabkan perbedaan pola pikir dengan masyarakat di daerah lain yang sudah lebih maju. Kebudayaan tersebut sebaiknya tetap dilestarikan dan dikenalkan kepada kaum muda. Mengapa kaum muda terkadang enggan untuk melestarikan kebudayaan di negeri sendiri? Anak muda jaman sekarang lebih tertarik untuk mengenal kebudayaan luar negeri. Mengikuti gaya negara lain ataupun lebih senang menyanyikan lagu-lagu mancanegara. Di era teknologi seperti sekarang ini, kebudayaan dan nilai-nilai dari Suku Dayak perlu kita kenal lebih jauh. Sebagai kaum muda, sudah seharusnya kita mengambil nilai-nilai tersebut sebagai bekal menjalani kehidupan ini. Nilai-nilai tersebut dapat kita lihat dari semboyan Suku Dayak itu sendiri. Semboyan orang Dayak adalah “Menteng Ueh Mamut”, yang berarti seseorang yang memiliki kekuatan gagah berani, serta tidak kenal menyerah atau pantang mundur. Hal tersebut sebaiknya dapat terus kita jadikan pedoman dalam menghadapi setiap permasalahan. Saat ini memang sudah jarang bisa kita temui masyarakat yang masih memegang teguh semboyan dan tradisinya. Tetap semangat serta tidak pernah mengeluh dalam mencapai cita-cita yang diinginkan. Sebuah semboyan yang penting bagi kita, sebagai kaum muda dalam meraih impian untuk terus-menerus mengusahakan yang terbaik. Dalam kehidupan tradisional, tentunya masih banyak upacara-upacara yang sering dilakukan. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi kaum muda untuk belajar tentang kebudayaan tersebut. Bukan hanya sebatas ritual belaka tetapi lebih kepada makna dan nilai yang terkandung dalam upacara tersebut. Berbagai upacara sering dilaksanakan dalam masyarakat tradisional Suku Dayak. Misalnya saja Upacara Adat Buah Dayak Pesaguan. Musim buah bagi masyarakat adat Dayak Pesaguan bukanlah hal yang biasa. Apalagi jika pada musim buah yang sangat melimpah. Masyarakat adat mewujudkannya dengan melakukan rangkaian upacara adat. Masyarakat adat Dayak Pesaguan di Kab. Ketapang setidaknya mengenal 7 rangkaian upacara adat buah-galau (buah-buahan). Ketujuh upacara adat buah tersebut lazimnya dilakukan pada setiap musim buah raya. Musim buah raya biasanya ditandai dengan berbuahnya beberapa jenis buah seperti kelampai, kumpang, limat dan kekalik. Rangkaian upacara adat buah dipimpin oleh seorang belian (bolin) buah. Usai upacara adat ini, masyarakat tidak boleh memanjat pohon durian dan mengambilnya malam hari. Seorang belian buah tidak boleh memakan semua jenis buah sampai pada upacara nyabit buah atau ninjangan senggayung, kecuali pinang-sirih. Ketika bunga mulai kembang dilanjutkan dengan upacara merimbang bunga(memelihara kembang). Kemudian pada saat kembang mulai jadi buah (biasanya berpatokan pada pohon durian) diadakan upacara adat menimang/memandian pansai. Upacara ini disertai dengan upacara ritual ma-alap senggayung (alat musik yang terbuat dari bambu). Upacara lainnya adalah Upacara Tiwah. Upacara Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di buat. Sandung adalah tempat yang semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia. Upacara Tiwah bagi Suku Dayak sangatlah sakral, pada acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang orang yang sudah mati tersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya (sandung), banyak sekali acara-acara ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain. Sampai akhirnya tulang-tulang tersebut di letakkan di tempatnya (Sandung).
Kebudayaan yang masih rutin dilakukan hingga kini adalah Gawai Dayak. Kegiatan ini merupakan perayaan yang diadakan di Kalimantan Barat dan Sarawak oleh suku asli Kalimantan Barat dan Sarawak, terutama Iban dan Dayak Darat. Gawai Dayak merupakan hari perayaan panen dan mulai diadakan secara besar-besaran sejak 25 September 1964, apabila Gawai Dayak dimaksudkan sebagai hari perayaan resmi. Sambutan Gawai Dayak pada tingkat negara Malaysia adalah pada 1 Juni 1965. Hal ini menunjukkan bahwa negara tetangga juga mengapresiasi kebudayaan negara kita. Kini, lihat saja kaum muda sekarang? Apakah mereka masih memiliki kepedulian terhadap kebudayaan negeri sendiri?
Tradisi lainnya yang masih terdapat di Suku Dayak adalah tato. Sebagian besar anak muda menyukai tato. Banyak sekali variasi dalam pembuatan tato. Mulai dari bentuk, warna, motif, cara pembuatan, alat yang dipakai, dan sebagainya. Tato dalam mayarakat Dayak berbeda dengan tato warna-warni yang dibuat di kalangan kaum muda. Perbedaannya terletak pada tujuan pembuatan tato tersebut. Bagi kaum muda, memiliki tato hanya sebagai nilai keindahan ataupun sekedar sebagai hiasan. Bahkan ingin dianggap sebagai jagoan sehingga tato tersebut tidak bernilai apa-apa. Berbeda dengan masyarakat Dayak yang memiliki makna dibalik pembuatan tato tersebut. Bagi mereka, tato memiliki nilai religi, status sosial, dan penghargaan terhadap kemampuan seseorang.
Dalam pembuatan tato, ada aturan-aturan tertentu sehingga tidak boleh dilakukan sembarangan. Mulai dari bentuk, gambar, status sosial orang yang akan ditato, orang yang membuat tato harus sesuai dengan aturan yang berlaku. Setiap subsuku Dayak memiliki aturan masing-masing dalam pembuatan tato tersebut. Namun, ada pula subsuku Dayak yang tidak mengenal tradisi tato, seperti masyarakat Dayak Meratus di Kalimantan Selatan (subsuku Dayak manyan). Bagi suku Dayak yang bermukim perbatasan Kalimantan dan Serawak Malaysia, misalnya, tato di sekitar jari tangan menunjukkan orang tersebut suku yang suka menolong seperti ahli pengobatan. Semakin banyak tato di tangannya, menunjukkan orang itu semakin banyak menolong dan semakin ahli dalam pengobatan. Bagi masyarakat Dayak Kenyah dan Dayak Kayan di Kalimantan Timur, banyaknya tato menggambarkan orang tersebut sudah sering mengembara. Jangan bayangkan kampung tersebut hanya berjarak beberapa kilometer. Di Kalimantan, jarak antarkampung bisa ratusan bahkan ribuan kilometer dan harus ditempuh menggunakan perahu menyusuri sungai lebih dari satu bulan. Karena itu, penghargaan pada perantau diberikan dalam bentuk tato. Tato bisa pula diberikan kepada bangsawan. Di kalangan masyarakat Dayak Kenyah, motif yang lazim untuk kalangan bangsawan (paren) adalah burung enggang (anggang) yakni burung endemik Kalimantan yang dikeramatkan. Bagi mereka burung enggang merupakan rajanya segala burung yang melambangkan sosok yang gagah perkasa, penuh wibawa, keagungan, dan kejayaan. Sehingga tato motif jenis ini biasanya diperuntukan hanya untuk orang-orang tertentu saja. Selain motifnya terpilih, cara pengerjaan tato untuk kaum bangsawan biasanya lebih halus dan detail dibandingkan tato untuk golongan menengah (panyen).
Berbagai kebudayaan dalam masyarakat tradisional kini hampir punah. Era modern semakin mengaburkan kebudayaan tersebut. Meskipun demikian, masih ada masyarakat yang terus melestarikan tradisi dari para leluhur mereka. Kehidupan yang tradisional dan penghayatan terhadap nilai-nilai luhur di dalamnya akan terus bertahan jika kaum muda juga mengenal dan menghayatinya. Orang yang terlahir dari bapak dan ibu Dayak tetapi tidak menghayati budaya dayak, apakah bisa kita sebut sebagai orang Dayak? Sepertinya tidak. Meskipun darah Dayak mengalir dalam tubuhnya, tetapi tidak menghayati budaya Dayak, ia tidak bisa disebut sebagai orang Dayak. Bandingkan dengan seorang anak yang lahir dari bapak-ibu Jawa, tetapi dibesarkan di lingkungan budaya Dayak. Semakin lama ia akan mengenal, menghayati dan menghidupi budaya Dayak tersebut. Ia bisa saja disebut sebagai orang Dayak.
Faktor yang terpenting adalah bagaimana kebudayaan tersebut dihidupi, bukan karena ia lahir di lingkungan Dayak ataupun memiliki darah Dayak. Memahami berbeda dengan menghayati. Seorang pakar budaya Dayak tidak dapat disebut sebagai orang Dayak meskipun ia memahami bagaimana kebudayaan tersebut. Memahami hanya sekedar mengetahui dan memiliki pengetahuan yang mendalam. Menghayati dan menghidupi kebudayaan tersebut harus benar-benar tercermin dalam tingkah laku, tutur kata, dan sikap sehari-hari. Seseorang bisa saja menjadi orang Dayak asalkan ia dapat menghidupi kebudayaan Dayak itu dengan baik.
Kehidupan tradisional tidak dapat kita pisahkan dengan relasi dalam masyarakat tersebut. Relasi dalam masyarakat tersebut sangat dekat. Terkadang orang Dayak dipandang sebagai orang yang galak dan menyeramkan. Kenyataannya orang Dayak adalah orang yang ramah, mudah bergaul, dan menyenangkan. Hal itu tercermin dalam sebuah anekdot berikut.
Alkisah, harga pasaran lada mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Setelah sekian tahun harga lada berada di titik yang sangat mengecewakan, akhirnya para  petani lada di pedalaman Kalimantan dapat merasakan keuntungan dari lada yang selama ini ditimbun dan tidak dijual. Lada dengan jumlah hingga puluhan ton itu membuat para petani dapat mengantungi uang hingga ratusan juta dari hasil menjual lada. Sebutlah Bujang, seorang pemuda petani lada yang mendadak kaya dan ingin menikmati kekayaannya. Sebagai seorang pemuda, tentu si Bujang juga ingin bergaya layaknya pemuda lainnya. Maka hal pertama yang ingin dibeli dengan uangnya yang banyak itu adalah handphone. Diwujudkanlah keinginan yang selama ini dipendam dan dirasa tidak dapat diwujudkan. Dengan membawa sejumlah uang yang cukup banyak di dalam tas jeraminya, Bujang berangkat dari kampungnya menuju kota terdekat untuk membeli handphone di toko handphone terbesar di kota itu. Bujang berkata, “Tolong Pak, saya mau beli handphone”. Penjaga toko melayani dengan ramah, ”Ehm, ingin handphone yang seperti apa, Pak? Merk apa dan tipe berapa?”, sahut penjaga toko dengan raut muka bingung dan tidak percaya kalau orang dengan pakaian lusuh yang berdiri di depannya sanggup membeli handphone. Bujang pun bingung mau menjawab apa, karena dia tidak mengerti mengenai tipe dan macam handphone. Namun akhirnya dengan yakin Bujang menjawab, “Saya mau membeli handphone yang paling mahal”. Dengan enggan dan masih tidak percaya penjaga toko mengambilkan handphone yang diminta dan menyebutkan sejumlah harga. Tanpa ragu Bujang pun membayarnya. Melihat pembeli di depannya mampu membayar, sikap penjaga toko berbalik ramah dan mulai melayani dengan senyum yang memperlihatkan gigi. “Handphone ini belum bisa dipakai bila belum ada pulsanya, Pak”, terang penjaga toko dengan senyum ramah. ”Oh, yasudah berikanlah pulsa”, jawab Bujang dengan bangganya. “Mau pulsa yang berapa, Pak?”, sahut penjaga toko. Kali ini tanpa ragu Bujang langsung menjawab, “Saya beli pulsa yang paling mahal saja”. Dengan senyum yang makin mengembang penjaga toko memberikan pulsa dengan pecahan paling besar. Beberapa saat kemudian penjaga toko bertanya, “Oh iya Pak, memang di daerah bapak ada sinyal?” Setelah berpikir beberapa saat, Bujang menjawab “Sepertinya tidak ada”, karena memang Bujang belum pernah mendengar nama tersebut. “Oh, berarti handphone bapak tidak bisa digunakan karena tidak ada sinyal”, terang penjaga toko dengan raut muka kasihan. Kemudian dengan yakin dan lantang Bujang berkata “Yasudah, saya juga beli sinyal yang paling mahal”. Entah bagaimana raut muka penjaga toko mendengar perkataan terakhir Bujang tersebut.
Anekdot tersebut menggambarkan bahwa Suku Dayak mudah untuk menjalin relasi yang baik dengan orang lain. Meskipun saat ini terjadi modernitas, masyarakat Dayak tetap memegang teguh kebudayaan dan tradisi yang telah menjadi warisan turun-temurun. Berdasarkan penelitian, kebudayaan Dayak bisa saja punah sebab kini kebudayaan tersebut sudah terancam punah. Jika bukan kita yang akan melestarikannya, siapa lagi? Waktu yang akan menjawab. Modernitas bukan menjadi halangan untuk tetap mencintai budaya kita sendiri. Justru dengan perkembangan teknologi seperti saat ini, diharapkan kaum muda semakin mengenal dan menghayati kebudayaan yang kita miliki. Jangan sampai kebudayaan tersebut diambil oleh negara lain, hanya karena kita kurang peduli terhadap kebudayaan tersebut. Hasil penelitian menyebutkan bahwa orang Dayak merupakan salah satu kelompok suku asli terbesar dan tertua yang mendiami Pulau Kalimantan. Gagasan ini didasarkan pada Teori Migrasi penduduk ke Kalimantan. Bertolak dari pendapat itu, diduga nenek moyang orang Dayak berasal dari beberapa gelombang migrasi.
Akhirnya, melalui pesona kehidupan yang masih tradisional tersebut, diharapkan kaum muda semakin memiliki rasa ingin tahu yang tinggi akan kebudayaan di dalamnya. Situasi dan kondisi yang tidak akan pernah kita temui di tempat manapun selain di dalam masyarakat Suku Dayak sendiri. Mengaku orang modern bukan berarti harus meninggalkan kebudayaan yang sarat akan nilai dan makna. Modernitas, sekali lagi sejatinya merupakan hal yang dapat mempermudah kita untuk memperkenalkan kebudayaan pada generasi muda. Ingin menjadi pewaris kebudayaan selanjutnya? Sekaranglah waktunya mengenal, memahami, dan selanjutnya menghayati budaya Dayak tersebut dalam kehidupan kita.

Daftar Pustaka :

P.J. Veth, "The Origin of the Name Dayak", dalam Borneo Research Bulletin, 15/2 (September 1983), hlm. 118-121
http://jamarisonline.blogspot.com(diunduh tanggal 4 Oktober jam 11:50)
http://detik.travel/read/2010selera-humor-suku-dayak(diunduh tanggal 4 Oktober jam 11:53)
http://www.taukahkalian.com(diunduh tanggal 7 Oktober jam 09:52)
http://id.wikipedia.org/wiki/Gawai_Dayak(diunduh tanggal 7 Oktober jam 09:58)
http://indonesiatera.com/NEGARA-ETNIK.html(diunduh tanggal 7 Oktober 2011 jam 10:50)

E-learning, Cermin Pendidikan Masa Kini: Siapkah kita?

Posted by wahyu cahyani at 8:42 AM 0 comments


Rangkuman :
Perkembangan teknologi yang semakin canggih kini telah mengubah dunia pendidikan. Pembelajaran yang dulunya menggunakan cara konvensional berangsur-angsur berubah menjadi modern. Penggunaan alat-alat teknologi dalam pembelajaran memberikan banyak manfaat kepada peserta didik ataupun pendidik. Namun di balik itu semua, banyak pula dampak negatif dari perkembangan teknologi tersebut. Selain berbagai kendala, bangsa kita, secara mental juga kurang siap dalam menghadapi tantangan jaman yang penuh inovasi.
Banyak hal yang dapat kita lakukan sekarang. Meski masih sangat sulit, kita harus berusaha memperbaharui diri menjadi lebih baik. Sebisa mungkin selalu mengikuti perkembangan jaman agar kita tidak tertinggal oleh negara-negara lain. Caranya sederhana saja, mulailah dari sekarang dan dari hal yang kecil. Dalam esai ini disajikan beberapa penerapan e-learning di Indonesia. Kemajuan bangsa tergantung kepada generasi mudanya. Generasi muda yang berkualitas bertitik tolak pada pendidikan di negara tersebut. Menjadi Indonesia yang lebih baik berarti meningkatkan kualitas pendidikan kita sesuai dengan perkembangan jaman. Teknologi yang saat ini terkenal dalam pendidikan adalah e-learning. Bergegaslah untuk menyesuaikan diri dengan teknologi pendidikan yang lebih baik.








            Dewasa ini perkembangan teknologi sangat pesat. Hal ini mengubah paradigma masyarakat dalam mencari informasi. Kini, untuk mencari informasi tidak hanya terbatas pada surat kabar, audio visual dan elektronik, tetapi juga melalui sumber informasi lain diantaranya jaringan internet.
            Perkembangan teknologi tersebut juga memberi dampak pada pendidikan, yang mana pendidikan merupakan proses komunikasi dan informasi antara pendidik dan siswa. Oleh karena itu, tercetuslah ide tentang e-learning.
            E-learning berarti pembelajaran dengan menggunakan jasa bantuan perangkat elektronika, khususnya komputer. Dalam hal ini, e-learning tidak dapat dipisahkan dari jaringan internet, karena media tersebut yang dijadikan sarana penyajian ide. E-learning sering pula dipahami sebagai suatu bentuk pembelajaran berbasis web yang bisa diakses dari intranet di jaringan lokal atau internet. Sebenarnya materi e-learning tidak harus didistribusikan secara on-line baik melalui jaringan lokal maupun internet, distribusi secara off-line menggunakan media CD/DVD pun termasuk pola e-learning. Dalam hal ini aplikasi dan materi belajar dikembangkan sesuai kebutuhan dan didistribusikan melalui media CD/DVD, selanjutnya pembelajar dapat memanfatkan CD/DVD tersebut dan belajar di tempat di mana dia berada. E-learning adalah sistem atau konsep pendidikan yang memanfaatkan teknologi informasi dalam proses belajar mengajar. Jadi teknologi informasi berperan besar di sini.
Ada beberapa pengertian berkaitan dengan e-learning sebagai berikut :
1.      Pembelajaran jarak jauh.
E-learning memungkinkan pembelajar untuk menimba ilmu tanpa harus secara fisik menghadiri kelas. Pembelajar bisa berada di Semarang, sementara “instruktur” dan pelajaran yang diikuti berada di tempat lain, di kota lain bahkan di negara lain. Pembelajar belajar dari komputer di rumah dengan memanfaatkan koneksi jaringan lokal ataupun jaringan Internet ataupun menggunakan media CD/DVD yang telah disiapkan. Materi belajar dikelola oleh sebuah pusat penyedia materi di kampus/universitas. Pembelajar bisa mengatur sendiri waktu belajar, dan tempat dari mana ia mengakses pelajaran.
2.      Pembelajaran dengan perangkat komputer
E-learning disampaikan dengan memanfaatkan perangkat komputer. Pada umumnya perangkat dilengkapi perangkat multimedia, dengan cd drive dan koneksi Internet ataupun Intranet lokal. Dengan memiliki komputer yang terkoneksi dengan intranet ataupun Internet, pembelajar dapat berpartisipasi dalam e-learning. Jumlah pembelajar yang bisa ikut berpartisipasi tidak dibatasi dengan kapasitas kelas. Materi pelajaran dapat diketengahkan dengan kualitas yang lebih standar dibandingkan kelas konvensional yang tergantung pada kondisi dari pengajar.
3.      Pembelajaran formal vs. informal
E-learning bisa mencakup pembelajaran secara formal maupun informal. E-learning secara formal, misalnya adalah pembelajaran dengan kurikulum, silabus, mata pelajaran dan tes yang telah diatur dan disusun berdasarkan jadwal yang telah disepakati pihak-pihak terkait (pengelola e-learning dan pembelajar sendiri). Pembelajaran seperti ini biasanya tingkat interaksinya tinggi dan diwajibkan oleh perusahaan pada karyawannya, atau pembelajaran jarak jauh yang dikelola oleh universitas dan perusahaan-perusahaan yang memang bergerak di bidang penyediaan jasa e-learning untuk umum. E-learning bisa juga dilakukan secara informal dengan interaksi yang lebih sederhana, misalnya melalui sarana mailing list, e-newsletter atau website pribadi, organisasi dan perusahaan yang ingin mensosialisasikan jasa, program, pengetahuan atau keterampilan tertentu pada masyarakat luas (biasanya tanpa memungut biaya).
4.      Pembelajaran yang ditunjang oleh para ahli di bidang masing-masing.
Walaupun sepertinya e-learning diberikan hanya melalui perangkat komputer, e-learning ternyata disiapkan, ditunjang, dikelola oleh tim yang terdiri dari para ahli di bidang masing-masing, yaitu:
a.       Subject Matter Expert (SME) atau nara sumber dari pelatihan yang disampaikan
b.      Instructional Designer (ID), bertugas untuk secara sistematis mendesain materi dari SME menjadi materi e-learning dengan memasukkan unsur metode pengajaran agar materi menjadi lebih interaktif, lebih mudah dan lebih menarik untuk dipelajari
c.       Graphic Designer (GD), mengubah materi text menjadi bentuk grafis dengan gambar, warna, dan layout yang enak dipandang, efektif dan menarik untuk dipelajari
d.      Ahli bidang Learning Management System (LMS). Mengelola sistem di website yang mengatur lalu lintas interaksi antara instruktur dengan siswa, antarsiswa dengan siswa lainnya.
Di sini, pembelajar bisa melihat modul-modul yang ditawarkan, bisa mengambil tugas-tugas dan test-test yang harus dikerjakan, serta melihat jadwal diskusi secara maya dengan instruktur, nara sumber lain, dan pembelajar lain. Melalui LMS ini, siswa juga bisa melihat nilai tugas dan test serta peringkatnya berdasarkan nilai (tugas ataupun test) yang diperoleh.
E-learning tidak diberikan semata-mata oleh mesin, tetapi seperti juga pembelajaran secara konvensional di kelas, e-learning ditunjang oleh para ahli di berbagai bidang terkait.
            Dalam penerapannya, ada beberapa hal yang menghambat. Pertama, masih kurangnya kemampuan menggunakan internet sebagai sumber pembelajaran. Hal itu dikarenakan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan tersebut masih terbatas jumlahnya. Di era teknologi seperti sekarang ini, sudah banyak orang yang dapat menggunakan internet. Akan tetapi, hanya sedikit yang memiliki kemampuan dalam mengaplikasikannya sebagai sumber pembelajaran. Tidak hanya kemampuan mencari informasi saja, namun juga keterampilan untuk mengolahnya sehingga dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran yang menarik. Kedua, biaya yang diperlukan masih relatif mahal. Untuk mewujudkan e-learning, diperlukan berbagai macam perangkat dan jaringan internet. Tentu saja ini membutuhkan banyak biaya. Di Indonesia, universitas yang menggunakan e-learning masih bisa dihitung dengan jari. Untuk sekolah-sekolah biasa, biaya menjadi masalah yang krusial sehingga belum banyak sekolah yang menggunakan e-learning. Ketiga, belum memadainya perhatian dari berbagai pihak terhadap pembelajaran melalui internet. Internet yang sejatinya digunakan sebagai sumber pembelajaran, penggunaanya kurang dimaksimalkan. Hal ini seharusnya menggugah berbagai pihak untuk berusaha menjadikan internet sebagai sumber pembelajaran.  Sudahkah perhatian itu diberikan? Keempat, belum memadainya infrastruktur pendukung untuk daerah-daerah tertentu. Seperti kita tahu, saudara-saudara kita yang berada di daerah pedalaman, misalnya Papua, belum mendapat pendidikan yang layak. Sehingga untuk mewujudkan e-learning ini masih membutuhkan waktu yang panjang. Belum tersedianya infrastruktur pendukung menjadi masalah yang perlu diselesaikan. Misalnya saja dengan memperbanyak pembangunan sekolah, pengadaan jaringan internet, pengadaan perangkat elektronik dan sebagainya. Kelima, belum adanya standar minimum implementasi e-learning yang resmi dari pemerintah. Kurang adanya rasa peduli terhadap e-learning mengakibatkan kurang adanya aturan ataupun standar bagi pelaksanaan e-learning di Indonesia.
            Metode pendidikan lama sudah tidak efektif untuk diterapkan di masa kini karena terbentur ruang dan waktu. E-learning adalah solusinya. Menerapkan e-learning dapat dengan berbagai cara. Untuk menyampaikan pembelajarannya, e-learning tidak harus selalu menggunakan internet. Banyak media-media lain yang dapat digunakan selain internet. Seperti intranet, cd, dvd, mp3, PDA dan lain-lain. Penggunaan teknologi internet pada e-learning umumnya dengan pertimbangan memiliki jangkauan yang luas. Ada juga beberapa lembaga pendidikan yang menggunakan jaringan intranet sebagai media e-learning sehingga biaya yang disiapkan relatif lebih murah. Model ini telah dikembangkan di Jepang tepatnya di Shuyukan High School dengan membentuk club yang dinamai (Information Science Club), yakni sebagai wadah siswa untuk bersinggungan dengan budaya teknologi. Ada tiga kompetensi dasar yang harus dimiliki guru untuk menyelenggarakan model pembelajaran e-learning. Pertama kemampuan untuk membuat desain instruksional (instructional design) sesuai dengan kaedah-kaedah paedagogis yang dituangkan dalam rencana pembelajaran. Kedua, penguasaan TIK dalam pembelajaran yakni pemanfaatan internet sebagai sumber pembelajaran dalam rangka mendapatkan materi ajar yang up to date dan berkualitas dan yang ketiga adalah penguasaan materi pembelajaran (subject metter) sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki. Langkah-langkah kongkrit yang harus dilalui oleh guru dalam pengembangan bahan pembelajaran adalah mengidentifikasi bahan pelajaran yang akan disajikan setiap pertemuan, menyusun kerangka materi pembelajaran yang sesuai dengan tujuan instruksional dan pencapainnya sesuai dengan indikator-indikator yang telah ditetapkan. Bahan tersebut selanjutnya dibuat tampilan yang menarik mungkin dalam bentuk power point dengan didukung oleh gambar, video dan bahan animasi lainnya agar siswa lebih tertarik dengan materi yang akan dipelajari serta diberikan latihan-latihan sesuai dengan kaedah-kaedah evaluasi pembelajaran sekaligus sebagai bahan evaluasi kemajuan siswa. Selain sikap positif peserta didik dan tenaga kependidikan, alasan/pertimbangan lain untuk menggunakan e-learning, di antaranya adalah karena harga perangkat komputer yang semakin lama semakin relatif murah (tidak lagi diperlakukan sebagai barang mewah), peningkatan kemampuan perangkat komputer yang mampu mengolah data lebih cepat dan kapasitas penyimpanan data yang semakin besar, memperluas akses atau jaringan komunikasi, memperpendek jarak dan mempermudah komunikasi, mempermudah pencarian atau penelusuran informasi melalui internet.
            E-learning memberikan dampak positif dan negatif. Dampak positif dari penerapan e-learning antara lain dapat meningkatkan minat siswa dalam belajar karena disertai dengan grafik, video, gambar. Hal itu akan meningkatkan motivasi siswa dalam proses belajar. Keuntungan lain belajar dengan metode e-learning seperti menghemat waktu , menghemat biaya perjalanan, menghemat biaya pendidikan, menjangkau wilayah geografis yang luas dan melatih kemandirian para pelajar dalam mendapatkan ilmu pengetahuan.
Sebaliknya, penerapan e-learning juga dapat memberikan efek negatif. Hubungan antara pendidik dan siswa semakin jauh dikarenakan penggunaan media perangkat komputer. Dengan adanya media tersebut komunikasi pendidik dan siswa semakin berkurang.Kehadiran guru sebagai makhluk hidup yang dapat berinteraksi secara langsung dengan para murid telah menghilang dari ruang-ruang elektronik e-learning ini. Inilah ciri khas dari kekurangan e-learning yang tidak bagus.
Salah satu kota yang telah menerapkan e-learning di sekolah adalah Yogyakarta. Sebanyak 500 SD dan SMP di Yogyakarta menjadi model program pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk peningkatan mutu pendidikan nasional. Saat ini, 110 SD dan SMP di DIY sudah menerapkan program pemanfaatan TIK. Tahun 2012, total 500 sekolah (300 SD dan 200 SMP) di DIY akan menerapkan program itu. Selain itu, prestasi yang luar biasa dicatat oleh Tim IT SMA Negeri 1 Yogyakarta. TIM IT SMAN 1 Yogyakarta berhasil menjadi juara satu E-learning Award  2010 Tingkat Nasional kategori sekolah yang diselenggarakan oleh Pustekkom (Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan)–Kemendiknas pada ajang Festival Pendidikan 2010.
            Di balik sebuah pembelajaran yang modern tersebut, di masyarakat kita berkembang mitos-mitos tentang e-learning, diantaranya :
1.      Biaya untuk mengimplementasikan e-learning mahal
Sekolah menganggap biaya e-learning mahal, padahal aplikasi yang diperlukan untuk mulai mengimplementasikan e-learning sangatlah murah, bahkan bisa dikatakan gratis.
2.      Membuat materi e-learning sulit dan membutuhkan waktu yang lama
Jika kita dapat mengetik pada aplikasi pengolah kata (MS Word atau Open Office Writer), maka kita dapat membuat materi e-learning. Penggunaan aplikasi untuk e-learning tidaklah sulit dan tidak membutuhkan waktu yang lama. Jika kita sudah memiliki materi dalam bentuk dokumen atau powerpoint, tidaklah membutuhkan tingkat kecakapan yang tinggi maupun waktu yang lama. Dari sisi teknis tidaklah terlalu sulit dan tidak terlalu lama dalam pembuatannya.
3.       Pendidik terlalu disibukkan dengan kegiatan administratif yang menyita waktu
Mitos atau mungkin lebih tepat alasan ini paling sering kita jumpai. Pendidik mengemukakan bahwa mereka terlalu disibukkan dengan kegiatan administratif. Memang benar dengan perubahan kurikulum banyak sekali kegiatan administratif yang harus dilakukan, tetapi kegiatan administratif ini repetitif, yakni berulang-ulang dari tahun ke tahun. Hanya membutuhkan sedikit penyesuaian dari tahun ke tahun. Dengan menggunakan e-learning, sebetulnya konten atau materi pembelajaran dapat satu kali dilakukan kemudian disimpan dan diupdate apabila diperlukan. Materi pembelajaran yang disampaikan dengan e-learning justru mempersingkat waktu pendidik untuk persiapan mengajar.
4.      Peserta didik tidak memiliki akses terhadap komputer dan/atau internet
Berdasarkan data terakhir (3 Mei 2011) Indonesia perlu berbangga hati (ataukah bersedih?) dengan menjadi negara pengguna facebook kedua terbesar setelah Amerika Serikat. Pengguna Facebook Indonesia mencapai 36.358.100 pengguna. Dari 36 juta pengguna ini, sekitar 70% berada pada usia belajar (Usia 18-24: 43,4%; usia 14-17: 24,6%; Usia <13: 1,8%). Total pelajar yang tercatat pada Data Pokok Pendidikan Kemendiknas, total pelajar di Indonesia sebanyak 41.191.778 sedangkan mahasiswa sebanyak 4.8 juta. Ini artinya lebih dari 50% pelajar Indonesia dapat mengakses Internet. Meskipun data pengguna Facebook ini tidak dapat dijadikan patokan karena bisa jadi satu pelajar memiliki beberapa akun Facebook, tetapi dapat terlihat bahwa lebih dari setengah pelajar di Indonesia memiliki akses terhadap komputer dan/atau internet. Jumlah ini dari tahun ke tahun meningkat dengan pesat. Jika pelajar dapat mengakses Facebook, maka mereka dapat pula mengakses konten e-learning. Dari data tersebut timbul pertanyaan: Akankah mereka (peserta didik) mengakses konten e-learning yang dibuat sekolah sama seperti mereka mengakses Facebook?
5.      Tidak ada interaksi antara pendidik dan peserta didik.
Penelitian yang dilakukan oleh Lim dan Sudweeks (2008) bahwa peserta didik belajar melalui computer-mediated communication mempengaruhi persepsi dan meningkatkan partisipasi peserta didik dalam upaya memahami materi yang sedang dipelajari.
Hampir semua mitos di atas memiliki kendala dari sisi teknis. Mitos-mitos ini sedikit sekali yang berhubungan dengan pembelajaran. Sudah saatnya sekolah dan pendidik melihat e-learning bukan dari teknologi yang digunakan tetapi bagaimana dan kapan menggunakannya.
           Di sisi lain, masih banyak sekolah yang memiliki fasilitas yang minim. Berdasarkan penelitian hampir semua sekolah di Kabupaten Ende (NTT) memiliki sarana prasarana yang masih sangat minim. Selain itu, kualitas SDM pengajar/guru juga sangat kurang.
            Alternatif yang bisa dilakukan antara lain :
a.       Jika sekolah memiliki komputer dan terhubung pada jaringan internet maka e-learning dapat berjalan secara efektif dan efisien,
b.      Jika sekolah memiliki komputer tetapi tidak terhubung ke internet maka dapat mendownload materi di tempat lain,
c.       Jika sekolah tidak memiliki komputer maka pelajar dapat diperkenalkan e-learning melalui cara lain misalnya melalui TV, CD, video.
Di dunia modern ini, pemanfaatan teknologi menjadi penting termasuk di dunia pendidikan. Pendidikan di daerah pedalaman menjadi kunci utama untuk mengubah masyarakatnya menjadi lebih maju. Jika pendidikan yang memadai saja belum bisa didapat, bagaimana mungkin menerapkan pembelajaran dengan sistem e-learning? Sejatinya, teknologi akan berkembang dengan lebih cepat. Dalam arti, kekurangan yang ada sekarang akan disempurnakan menjadi teknologi yang lebih canggih. Sudah siapkah kita menghadapinya?









Daftar Pustaka :

www.teledoredu.com(diunduh tanggal 9 Oktober 2011 jam 18:25)

Schramm, W. (1977). Big media, little media, tools and technologies for instruction. Beverly
Hills, CA: Sage Publications

Johnston, J. (1987). Electronic learning: From audiotape to videodisk. Englewood  Cliffs, NJ, Lawrence Erlbaum Associates.

Russel, T. L. (1992). Television’s indelible impact on distance education: what we should have learned from comparative research. Research in Distance Education, 4 (4), 2-4.

Schlosser, C. dan Anderson, M. (1994). Distance Education: Review of the literature. Washington, DC: AECT Publications.

Lim, L.H. and Sudweeks, F. (2008). Chatting to learn: a case study on student experiences of online moderated synchronous discussions in virtual tutorials.
Nagash, S. and Whitman, M.E., (eds.) Handbook of Distance Learning for Real-Time and Asynchronous Information. Idea Group, Hershey, PA, hal. 170-191.










 

keep smile n full spirit ^ Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Blogger Template Sponsored by web hosting