Pesona Kehidupan Tradisional di Tengah Modernitas
Apa yang ada di benak kita tentang kebudayaan? Apa yang kita pikirkan tentang sebuah suku yang berada di Kalimantan, yakni Suku Dayak? Sebagai kaum muda, apakah kita mengenal dan memahami kebudayaan dalam suku tersebut?
Indonesia merupakan negara yang majemuk atau heterogen. Bangsa kita mempunyai beraneka ragam suku bangsa, budaya, agama, dan adat istiadat (tradisi). Semua itu tercermin dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Misalnya dalam upacara adat, rumah adat, baju adat, nyanyian dan tarian daerah, alat musik, dan makanan khas. Kelompok etnik atau suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang anggota-anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama. Berdasarkan penelitian, Indonesia merupakan negara dengan suku bangsa yang terbanyak di dunia. Terdapat lebih dari 740 suku bangsa atau etnis, dimana di Papua saja terdapat 270 suku. Setiap suku memiliki kebudayaannya masing-masing. Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah artinya adalah hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Apabila Amerika memiliki Suku Indian yang ternama itu, Indonesia juga tidak kalah. Salah satu suku yang terbesar di Kalimantan adalah Suku Dayak. Suku asli dari Kalimantan ini dapat dikatakan sebagai Indiannya Indonesia. Kata Dayak berasal dari kata “Daya” yang artinya hulu, untuk menyebutkan masyarakat yang tinggal di pedalaman atau perhuluan Kalimantan. Kini banyak pula masyarakat Suku Dayak yang tinggal di kota kabupaten dan provinsi. Mereka mempunyai kemiripan adat istiadat dan budaya serta masih memegang teguh tradisinya.
Di era modern seperti sekarang ini, banyak tantangan yang dihadapi kaum muda. Salah satunya adalah arus teknologi informasi yang berkembang sangat cepat. Hal ini mengakibatkan kaum muda kurang mengenal kebudayaannya sendiri. Sebenarnya, Suku Dayak memiliki berbagai kebudayaan yang sarat akan nilai luhur. Hal ini terlihat dalam kehidupan mereka yang masih sangat memegang tradisi luhur nenek moyang. Salah satunya masyarakat di Desa Sungai Bawang dan Pampang di Karang Mumus, Kalimantan Timur. Jarak yang begitu jauh dari perkotaan menyebabkan tempat ini masih sangat tradisional. Salah satu budaya unik yang ada di masyarakat tersebut adalah memanjangkan telinga. Bayangkan jika telinga kita memakai banyak anting! Mungkin kita akan merasa kesakitan akibat beban dari banyaknya anting tersebut. Berbeda dengan budaya yang telah berkembang di Suku Dayak. Memiliki telinga panjang merupakan sebuah kebanggaan. Bukan tanpa alasan mereka melakukan hal seperti itu. Sejarah membuktikan pria maupun wanita suku Dayak jaman dulu beralasan, jika memiliki telinga panjang akan dapat menunjukan status bangsawan yang ia sandang. Tak hanya itu, wanita yang memiliki telinga panjang akan merasa lebih cantik. Aneh memang, di dunia modern seperti saat ini, masih ada kebudayaan yang unik dan tidak masuk akal. Lebih dari itu, telinga yang berukuran panjang juga bisa menunjukan umur seseorang. Pemasangan anting tersebut dilakukan setahun sekali. Jika jumlah anting yang menggantung di telinganya berjumlah 50 buah, maka dapat dipastikan umur orang tersebut adalah 50 tahun.
Masyarakat Suku Dayak memiliki banyak sekali sub suku. Masyarakat setempat merupakan janin daerah multietnik. Masing-masing sub suku tersebut tentunya juga memiliki bermacam-macam kebudayaan yang unik. Kehidupan mereka yang masih tradisional menyebabkan perbedaan pola pikir dengan masyarakat di daerah lain yang sudah lebih maju. Kebudayaan tersebut sebaiknya tetap dilestarikan dan dikenalkan kepada kaum muda. Mengapa kaum muda terkadang enggan untuk melestarikan kebudayaan di negeri sendiri? Anak muda jaman sekarang lebih tertarik untuk mengenal kebudayaan luar negeri. Mengikuti gaya negara lain ataupun lebih senang menyanyikan lagu-lagu mancanegara. Di era teknologi seperti sekarang ini, kebudayaan dan nilai-nilai dari Suku Dayak perlu kita kenal lebih jauh. Sebagai kaum muda, sudah seharusnya kita mengambil nilai-nilai tersebut sebagai bekal menjalani kehidupan ini. Nilai-nilai tersebut dapat kita lihat dari semboyan Suku Dayak itu sendiri. Semboyan orang Dayak adalah “Menteng Ueh Mamut”, yang berarti seseorang yang memiliki kekuatan gagah berani, serta tidak kenal menyerah atau pantang mundur. Hal tersebut sebaiknya dapat terus kita jadikan pedoman dalam menghadapi setiap permasalahan. Saat ini memang sudah jarang bisa kita temui masyarakat yang masih memegang teguh semboyan dan tradisinya. Tetap semangat serta tidak pernah mengeluh dalam mencapai cita-cita yang diinginkan. Sebuah semboyan yang penting bagi kita, sebagai kaum muda dalam meraih impian untuk terus-menerus mengusahakan yang terbaik. Dalam kehidupan tradisional, tentunya masih banyak upacara-upacara yang sering dilakukan. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi kaum muda untuk belajar tentang kebudayaan tersebut. Bukan hanya sebatas ritual belaka tetapi lebih kepada makna dan nilai yang terkandung dalam upacara tersebut. Berbagai upacara sering dilaksanakan dalam masyarakat tradisional Suku Dayak. Misalnya saja Upacara Adat Buah Dayak Pesaguan. Musim buah bagi masyarakat adat Dayak Pesaguan bukanlah hal yang biasa. Apalagi jika pada musim buah yang sangat melimpah. Masyarakat adat mewujudkannya dengan melakukan rangkaian upacara adat. Masyarakat adat Dayak Pesaguan di Kab. Ketapang setidaknya mengenal 7 rangkaian upacara adat buah-galau (buah-buahan). Ketujuh upacara adat buah tersebut lazimnya dilakukan pada setiap musim buah raya. Musim buah raya biasanya ditandai dengan berbuahnya beberapa jenis buah seperti kelampai, kumpang, limat dan kekalik. Rangkaian upacara adat buah dipimpin oleh seorang belian (bolin) buah. Usai upacara adat ini, masyarakat tidak boleh memanjat pohon durian dan mengambilnya malam hari. Seorang belian buah tidak boleh memakan semua jenis buah sampai pada upacara nyabit buah atau ninjangan senggayung, kecuali pinang-sirih. Ketika bunga mulai kembang dilanjutkan dengan upacara merimbang bunga(memelihara kembang). Kemudian pada saat kembang mulai jadi buah (biasanya berpatokan pada pohon durian) diadakan upacara adat menimang/memandian pansai. Upacara ini disertai dengan upacara ritual ma-alap senggayung (alat musik yang terbuat dari bambu). Upacara lainnya adalah Upacara Tiwah. Upacara Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah merupakan upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal ke Sandung yang sudah di buat. Sandung adalah tempat yang semacam rumah kecil yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia. Upacara Tiwah bagi Suku Dayak sangatlah sakral, pada acara Tiwah ini sebelum tulang-tulang orang yang sudah mati tersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya (sandung), banyak sekali acara-acara ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain. Sampai akhirnya tulang-tulang tersebut di letakkan di tempatnya (Sandung).
Kebudayaan yang masih rutin dilakukan hingga kini adalah Gawai Dayak. Kegiatan ini merupakan perayaan yang diadakan di Kalimantan Barat dan Sarawak oleh suku asli Kalimantan Barat dan Sarawak, terutama Iban dan Dayak Darat. Gawai Dayak merupakan hari perayaan panen dan mulai diadakan secara besar-besaran sejak 25 September 1964, apabila Gawai Dayak dimaksudkan sebagai hari perayaan resmi. Sambutan Gawai Dayak pada tingkat negara Malaysia adalah pada 1 Juni 1965. Hal ini menunjukkan bahwa negara tetangga juga mengapresiasi kebudayaan negara kita. Kini, lihat saja kaum muda sekarang? Apakah mereka masih memiliki kepedulian terhadap kebudayaan negeri sendiri?
Tradisi lainnya yang masih terdapat di Suku Dayak adalah tato. Sebagian besar anak muda menyukai tato. Banyak sekali variasi dalam pembuatan tato. Mulai dari bentuk, warna, motif, cara pembuatan, alat yang dipakai, dan sebagainya. Tato dalam mayarakat Dayak berbeda dengan tato warna-warni yang dibuat di kalangan kaum muda. Perbedaannya terletak pada tujuan pembuatan tato tersebut. Bagi kaum muda, memiliki tato hanya sebagai nilai keindahan ataupun sekedar sebagai hiasan. Bahkan ingin dianggap sebagai jagoan sehingga tato tersebut tidak bernilai apa-apa. Berbeda dengan masyarakat Dayak yang memiliki makna dibalik pembuatan tato tersebut. Bagi mereka, tato memiliki nilai religi, status sosial, dan penghargaan terhadap kemampuan seseorang.
Dalam pembuatan tato, ada aturan-aturan tertentu sehingga tidak boleh dilakukan sembarangan. Mulai dari bentuk, gambar, status sosial orang yang akan ditato, orang yang membuat tato harus sesuai dengan aturan yang berlaku. Setiap subsuku Dayak memiliki aturan masing-masing dalam pembuatan tato tersebut. Namun, ada pula subsuku Dayak yang tidak mengenal tradisi tato, seperti masyarakat Dayak Meratus di Kalimantan Selatan (subsuku Dayak manyan). Bagi suku Dayak yang bermukim perbatasan Kalimantan dan Serawak Malaysia, misalnya, tato di sekitar jari tangan menunjukkan orang tersebut suku yang suka menolong seperti ahli pengobatan. Semakin banyak tato di tangannya, menunjukkan orang itu semakin banyak menolong dan semakin ahli dalam pengobatan. Bagi masyarakat Dayak Kenyah dan Dayak Kayan di Kalimantan Timur, banyaknya tato menggambarkan orang tersebut sudah sering mengembara. Jangan bayangkan kampung tersebut hanya berjarak beberapa kilometer. Di Kalimantan, jarak antarkampung bisa ratusan bahkan ribuan kilometer dan harus ditempuh menggunakan perahu menyusuri sungai lebih dari satu bulan. Karena itu, penghargaan pada perantau diberikan dalam bentuk tato. Tato bisa pula diberikan kepada bangsawan. Di kalangan masyarakat Dayak Kenyah, motif yang lazim untuk kalangan bangsawan (paren) adalah burung enggang (anggang) yakni burung endemik Kalimantan yang dikeramatkan. Bagi mereka burung enggang merupakan rajanya segala burung yang melambangkan sosok yang gagah perkasa, penuh wibawa, keagungan, dan kejayaan. Sehingga tato motif jenis ini biasanya diperuntukan hanya untuk orang-orang tertentu saja. Selain motifnya terpilih, cara pengerjaan tato untuk kaum bangsawan biasanya lebih halus dan detail dibandingkan tato untuk golongan menengah (panyen).
Berbagai kebudayaan dalam masyarakat tradisional kini hampir punah. Era modern semakin mengaburkan kebudayaan tersebut. Meskipun demikian, masih ada masyarakat yang terus melestarikan tradisi dari para leluhur mereka. Kehidupan yang tradisional dan penghayatan terhadap nilai-nilai luhur di dalamnya akan terus bertahan jika kaum muda juga mengenal dan menghayatinya. Orang yang terlahir dari bapak dan ibu Dayak tetapi tidak menghayati budaya dayak, apakah bisa kita sebut sebagai orang Dayak? Sepertinya tidak. Meskipun darah Dayak mengalir dalam tubuhnya, tetapi tidak menghayati budaya Dayak, ia tidak bisa disebut sebagai orang Dayak. Bandingkan dengan seorang anak yang lahir dari bapak-ibu Jawa, tetapi dibesarkan di lingkungan budaya Dayak. Semakin lama ia akan mengenal, menghayati dan menghidupi budaya Dayak tersebut. Ia bisa saja disebut sebagai orang Dayak.
Faktor yang terpenting adalah bagaimana kebudayaan tersebut dihidupi, bukan karena ia lahir di lingkungan Dayak ataupun memiliki darah Dayak. Memahami berbeda dengan menghayati. Seorang pakar budaya Dayak tidak dapat disebut sebagai orang Dayak meskipun ia memahami bagaimana kebudayaan tersebut. Memahami hanya sekedar mengetahui dan memiliki pengetahuan yang mendalam. Menghayati dan menghidupi kebudayaan tersebut harus benar-benar tercermin dalam tingkah laku, tutur kata, dan sikap sehari-hari. Seseorang bisa saja menjadi orang Dayak asalkan ia dapat menghidupi kebudayaan Dayak itu dengan baik.
Kehidupan tradisional tidak dapat kita pisahkan dengan relasi dalam masyarakat tersebut. Relasi dalam masyarakat tersebut sangat dekat. Terkadang orang Dayak dipandang sebagai orang yang galak dan menyeramkan. Kenyataannya orang Dayak adalah orang yang ramah, mudah bergaul, dan menyenangkan. Hal itu tercermin dalam sebuah anekdot berikut.
Alkisah, harga pasaran lada mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Setelah sekian tahun harga lada berada di titik yang sangat mengecewakan, akhirnya para petani lada di pedalaman Kalimantan dapat merasakan keuntungan dari lada yang selama ini ditimbun dan tidak dijual. Lada dengan jumlah hingga puluhan ton itu membuat para petani dapat mengantungi uang hingga ratusan juta dari hasil menjual lada. Sebutlah Bujang, seorang pemuda petani lada yang mendadak kaya dan ingin menikmati kekayaannya. Sebagai seorang pemuda, tentu si Bujang juga ingin bergaya layaknya pemuda lainnya. Maka hal pertama yang ingin dibeli dengan uangnya yang banyak itu adalah handphone. Diwujudkanlah keinginan yang selama ini dipendam dan dirasa tidak dapat diwujudkan. Dengan membawa sejumlah uang yang cukup banyak di dalam tas jeraminya, Bujang berangkat dari kampungnya menuju kota terdekat untuk membeli handphone di toko handphone terbesar di kota itu. Bujang berkata, “Tolong Pak, saya mau beli handphone”. Penjaga toko melayani dengan ramah, ”Ehm, ingin handphone yang seperti apa, Pak? Merk apa dan tipe berapa?”, sahut penjaga toko dengan raut muka bingung dan tidak percaya kalau orang dengan pakaian lusuh yang berdiri di depannya sanggup membeli handphone. Bujang pun bingung mau menjawab apa, karena dia tidak mengerti mengenai tipe dan macam handphone. Namun akhirnya dengan yakin Bujang menjawab, “Saya mau membeli handphone yang paling mahal”. Dengan enggan dan masih tidak percaya penjaga toko mengambilkan handphone yang diminta dan menyebutkan sejumlah harga. Tanpa ragu Bujang pun membayarnya. Melihat pembeli di depannya mampu membayar, sikap penjaga toko berbalik ramah dan mulai melayani dengan senyum yang memperlihatkan gigi. “Handphone ini belum bisa dipakai bila belum ada pulsanya, Pak”, terang penjaga toko dengan senyum ramah. ”Oh, yasudah berikanlah pulsa”, jawab Bujang dengan bangganya. “Mau pulsa yang berapa, Pak?”, sahut penjaga toko. Kali ini tanpa ragu Bujang langsung menjawab, “Saya beli pulsa yang paling mahal saja”. Dengan senyum yang makin mengembang penjaga toko memberikan pulsa dengan pecahan paling besar. Beberapa saat kemudian penjaga toko bertanya, “Oh iya Pak, memang di daerah bapak ada sinyal?” Setelah berpikir beberapa saat, Bujang menjawab “Sepertinya tidak ada”, karena memang Bujang belum pernah mendengar nama tersebut. “Oh, berarti handphone bapak tidak bisa digunakan karena tidak ada sinyal”, terang penjaga toko dengan raut muka kasihan. Kemudian dengan yakin dan lantang Bujang berkata “Yasudah, saya juga beli sinyal yang paling mahal”. Entah bagaimana raut muka penjaga toko mendengar perkataan terakhir Bujang tersebut.
Anekdot tersebut menggambarkan bahwa Suku Dayak mudah untuk menjalin relasi yang baik dengan orang lain. Meskipun saat ini terjadi modernitas, masyarakat Dayak tetap memegang teguh kebudayaan dan tradisi yang telah menjadi warisan turun-temurun. Berdasarkan penelitian, kebudayaan Dayak bisa saja punah sebab kini kebudayaan tersebut sudah terancam punah. Jika bukan kita yang akan melestarikannya, siapa lagi? Waktu yang akan menjawab. Modernitas bukan menjadi halangan untuk tetap mencintai budaya kita sendiri. Justru dengan perkembangan teknologi seperti saat ini, diharapkan kaum muda semakin mengenal dan menghayati kebudayaan yang kita miliki. Jangan sampai kebudayaan tersebut diambil oleh negara lain, hanya karena kita kurang peduli terhadap kebudayaan tersebut. Hasil penelitian menyebutkan bahwa orang Dayak merupakan salah satu kelompok suku asli terbesar dan tertua yang mendiami Pulau Kalimantan. Gagasan ini didasarkan pada Teori Migrasi penduduk ke Kalimantan. Bertolak dari pendapat itu, diduga nenek moyang orang Dayak berasal dari beberapa gelombang migrasi.
Akhirnya, melalui pesona kehidupan yang masih tradisional tersebut, diharapkan kaum muda semakin memiliki rasa ingin tahu yang tinggi akan kebudayaan di dalamnya. Situasi dan kondisi yang tidak akan pernah kita temui di tempat manapun selain di dalam masyarakat Suku Dayak sendiri. Mengaku orang modern bukan berarti harus meninggalkan kebudayaan yang sarat akan nilai dan makna. Modernitas, sekali lagi sejatinya merupakan hal yang dapat mempermudah kita untuk memperkenalkan kebudayaan pada generasi muda. Ingin menjadi pewaris kebudayaan selanjutnya? Sekaranglah waktunya mengenal, memahami, dan selanjutnya menghayati budaya Dayak tersebut dalam kehidupan kita.
Daftar Pustaka :
P.J. Veth, "The Origin of the Name Dayak", dalam Borneo Research Bulletin, 15/2 (September 1983), hlm. 118-121
http://jamarisonline.blogspot.com(diunduh tanggal 4 Oktober jam 11:50)
http://detik.travel/read/2010selera-humor-suku-dayak(diunduh tanggal 4 Oktober jam 11:53)
http://www.taukahkalian.com(diunduh tanggal 7 Oktober jam 09:52)
http://id.wikipedia.org/wiki/Gawai_Dayak(diunduh tanggal 7 Oktober jam 09:58)
http://indonesiatera.com/NEGARA-ETNIK.html(diunduh tanggal 7 Oktober 2011 jam 10:50)
0 comments on "Pesona Kehidupan Tradisional di Tengah Modernitas"
Post a Comment