Apa
yang terbersit dalam pikiran kita tentang kaum muda? Energik, penuh semangat
dan memiliki kreativitas yang tinggi. Dalam hidup menggereja, kaum muda juga
ikut ambil bagian didalamnya. Doa taize merupakan salah satu cara beradorasi
yang sering dilakukan kaum muda. Pertanyaan yang kini muncul adalah apakah kaum
muda sering beradorasi? Adorasi merupakan penghormatan kepada sakramen
mahakudus. Kini, di Paroki Klepu telah ada 3 tempat kapel adorasi ekaristi
abadi. Adorasi ekaristi abadi merupakan bentuk adorasi yang dilakukan
terus-menerus tanpa henti selama 24 jam sehari dan 7 hari dalam seminggu.
Kapel-kapel tersebut terletak di Daratan, Pojok, dan Sendang Jatiningsih. Dalam
beradorasi tentunya membutuhkan kesadaran dari diri kita sendiri. Setidaknya
kita dapat menyisihkan waktu kita selama 1 jam untuk beradorasi. Sedangkan jika
kita hanya melakukannya kurang dari 1 jam, itu tidak dapat disebut sebagai
adorasi. Saya ambil contoh seorang remaja yang berdoa di kapel adorasi selama
30 menit. Remaja itu melakukan visitasi, bukan adorasi.
Dalam
adorasi kita diundang untuk mau berjaga dan menemani Yesus. Sama seperti saat
Yesus di taman Getzemani. Kita diajak untuk mau meluangkan waktu kita setidaknya
selama 1 jam untuk hening. Yesus telah mengorbankan nyawanya demi umat manusia.
Sebagai gantinya, kita dapat memberikan kebebasan kita untuk masuk dalam doa
dan sembah sujud pada sakramen mahakudus. Adorasi sebenarnya adalah sebuah
kekayaan liturgi dalam gereja katolik. Sebagai umat katolik tentu adorasi dapat
menjadi sebuah kesempatan emas untuk mendekatkan diri pada Yesus. Dalam
keheningan itu, Yesus selalu memeluk kita dengan bimbingannya, mendengarkan
kita dengan penuh kesabaran, dan selalu memberikan berkah keselamatan dalam
kehidupan. Yesus sendiri yang telah mengusik hati kita untuk mendatangi
rumah-Nya. Jika Yesus telah mengusik dan mengajak hati kita untuk beradorasi,
mengapa jarang kaum muda yang mendengarkan ajakan Yesus?
Kaum
muda di era globalisasi seperti sekarang ini tentu berbeda jauh dengan kaum
muda jaman dahulu. Kini, tantangan yang harus dihadapi oleh kaum muda semakin
banyak dan semakin kompleks. Jelas ini menimbulkan dampak yang beragam. Jika
seorang anak muda mampu mengatasi segala tantangannya, dia dapat disebut
sebagai pemenang. Namun, jika seorang anak muda lainnya tidak mampu mengatasi
segala tantangan, ia bisa disebut sebagai korban globalisasi. Globalisasi
memang memberikan dampak positif dan negatif. Saya, sebagai seorang kaum muda
juga merasakan dampak globalisasi itu dalam kehidupan. Menurut saya, ada
beberapa hal yang mengakibatkan kaum muda jarang beradorasi, diantaranya :
1.
Adanya rasa malas
Rasa
malas merupakan penyakit pertama dan utama bagi kaum muda. Hal ini dikarenakan muncul
dari dalam diri sendiri. Jika rasa malas ini muncul maka kita tidak ingin
melakukan kegiatan itu, dalam hal ini beradorasi. Bagaimana mengatasi rasa
malas? Jawabannya sangat sederhana, jangan malas. Malas ataupun tidak malas
bergantung pada diri sendiri. Cara pandang yang keliru tentang adorasi mungkin
dapat mempengaruhi pikirannya. Adorasi yang dipandang sebagai sebuah kegiatan
yang membuang-buang waktu tentu akan mempengaruhi pikiran dan perilaku. Kehidupan
kaum muda yang dekat dengan keramaian sangat kontras dengan sebuah keheningan
yang ditampilkan dalam kapel adorasi. Rasa malas pertama-tama tentu harus
diatasi dengan cara pandang yang baik mengenai adorasi ekaristi. Adorasi adalah
waktu untuk hening, untuk berbicara pada Yesus tentang berbagai hal. Tidak
hanya di saat ‘galau’, namun juga setiap saat kita dapat bertemu pada Yesus.
Malas merupakan sikap yang negatif dan harus kita hindari. Dampak dari sebuah
rasa malas adalah kehidupan kita akan berantakan. Bahkan kita akan menjadi
korban yang tentu saja akan tertinggal di tengah derasnya arus globalisasi.
2.
Terlalu sibuk dengan tugas
sekolah/kuliah
Hal
ini tentu menjadi persoalan semua anak yang bersekolah maupun kuliah. Tugas
sebagai seorang pelajar adalah belajar. Dengan tugas-tugas yang banyak, hal ini
tentu membutuhkan waktu untuk menyelesaikannya. Berbagai macam tugas menuntut
kita untuk segera diselesaikan. Mulai dari tugas individu sampai tugas
kelompok. Mulai dari tugas yang sederhana sampai pada tugas proyek yang menyita
banyak waktu. Globalisasi juga dapat membuat orang lupa diri dan terhanyut
dalam sebuah kesibukan yang tidak tahu kapan akan berakhir. Memang hal ini
jelas terlihat pada kaum muda yang berada di kota-kota besar. Namun tidak
menutup kemungkinan bahwa kaum muda di daerah pedesaan juga dapat terkena arus
itu. Kesibukan dalam menyelesaikan tugas tentu dapat diatur sedemikan rupa
sehingga kita dapat menjadi pemimpin bagi diri kita sendiri. Kuncinya bukan
terletak pada memprioritaskan jadwal, namun menjadwalkan prioritas. Menjadwalkan
prioritas maksudnya adalah kita dapat mengatur segala kegiatan kita sehingga
kita tidak menjadi korban dari kegiatan-kegiatan kita. Jika kita tidak dapat
memutuskan prioritas, maka lagi-lagi kita akan menjadi korban di tengah
globalisasi ini. Kaum muda memang rentan menjadi korban globalisasi. Di samping
perasaannya yang masih labil, tugas-tugas dari luar juga ikut mendorong dan
menekan kaum muda secara psikis. Ironis memang. Tugas sekolah/kuliah yang hanya
sebagai tambahan pekerjaan bagi pelajar, justru sekarang menjadi gangguan untuk
kita dekat dengan Sang Pencipta.
3.
Sibuk dengan kegiatan di sekolah/kuliah
Kegiatan
sekolah/kuliah yang terlalu padat tentu membuat orang sibuk dan terhanyut
dengan kegiatan itu. Hal ini jelas terlihat karena banyak hal yang harus
diperhatikan dalam kegiatan-kegiatan itu. Orang cenderung sibuk untuk
mempersiapkan kegiatan itu. Misalnya saja dari rapat sampai pada evaluasi. Hal
ini tentu membutuhkan tenaga, pikiran, dan juga waktu untuk melakukannya.
Kegiatan semacam itu hendaknya dapat kita atasi dengan bijaksana. Semua
kegiatan merupakan wahana kita untuk mengembangkan potensi dan kemampuan yang
kita miliki. Namun jika hal ini telah menjadi dewa dalam kehidupan kita. Apa
yang akan terjadi? Lagi-lagi kita menjadi korban. Berdasarkan pengamatan saya,
kaum muda yang cenderung mengikuti banyak kegiatan di sekolah/kampus akan
menghabiskan banyak waktu di kampus. Hal ini berdampak pada tidak adanya waktu
untuk duduk hening dan diam di depan sakramen mahakudus. Mungkin dapat saja
terlintas dalam benaknya tentang kerinduan memandang dan menikmati sakramen
mahakudus. Namun hal itu akan berlalu begitu saja jika kegiatan-kegiatan yang
ia jalani lebih kuat memaksanya. Dalam hal ini dibutuhkan keberanian yang luar
biasa untuk keluar dari segala tekanan itu. Untuk mengatasi tekanan itu tentu
bukan hal yang mudah. Apalagi jika teman-teman di sekitarnya tidak memberikan
dukungan. Ditambah lagi tuntutan dari banyak orang agar kita dapat melaksanakan
kegiatan itu dengan maksimal. Ini tentu menjadi beban tersendiri. Keberanian
menjadi poin penting untuk memberikan sebuah keputusan.
4.
Tidak adanya kesadaran untuk beradorasi
Kesadaran
ini merupakan motivasi dari dalam diri kita. Hal ini tentu akan sangat sulit
diubah. Kita dapat melakukan adorasi jika dan hanya jika kita mau dan mempunyai
kesadaran untuk melakukannya. Bagi kaum muda hal ini menjadi tantangan
tersendiri. Kesadaran diri. Ya, kesadaran diri memang masih jarang kita temui.
Apalagi dunia memberikan begitu banyak tawaran yang tidak dapat kita hilangkan.
Hal yang dapat kita lakukan yaitu dengan sebuah kesadaran diri. Kesadaran diri
ini perlu dilatih sejak dini sehingga anak dapat mengetahui hal yang baik dan
hal yang kurang baik. Dengan demikian, kesadaran itu akan muncul dari dalam
dirinya. Saya mengambil contoh sederhana, seorang pelajar yang tidak memiliki
kesadaran diri bahwa ia seorang pelajar tentu menjadikan belajar sebagai hal
yang membosankan bahkan bukan menjadi sebuah keinginan. Belajar hanya dianggap
sebagai kebutuhan. Kaum muda dapat tergoda dengan tawaran-tawaran dari dunia.
Maka, di usia muda merupakan usia yang rentan. Jika ia mampu melewati masa muda
dengan baik, maka dia dapat menjalani hari-harinya dengan baik. Namun jika ia
tidak mampu melewatinya dengan baik, maka kehidupan selanjutnya tentu akan
terganggu. Begitu pula dengan kesadaran beradorasi. Jika kesadaran akan adorasi
belum ada, bagaimana mungkin kaum muda akan melakukan adorasi? Hal ini terlihat
kontras dengan kaum muda lainnya yang benar-benar memiliki kesadaran beradorasi.
Bahkan jika dalam diri anak kecil sudah memiliki kesadaran beradorasi maka
bukan tidak mungkin anak kecil itu akan rajin menemui Yesus di kapel adorasi.
Ini bukan masalah ia anak kecil, kaum muda, ataupun orang tua. Ini lebih kepada
sikap dan kesadaran kita untuk beradorasi. Saat saya berkunjung ke kapel
adorasi di daerah Daratan, saya sangat terkejut. Pertama, saya jarang menemui
kaum muda yang beradorasi. Kedua, setelah selesai berdoa saya bertemu dengan 2
orang anak kecil yang akan beradorasi. Usia anak itu kira-kira 9 tahun. Saya
tidak menyangka bagaimana mungkin seorang anak kecil sudah memiliki kesadaran beradorasi. Bahkan
orang tua kadang tidak memiliki kesadaran akan hal itu. Saya melihat bahwa anak
kecil itu mendengarkan dan merespon ajakan Yesus untuk beradorasi.
5.
Lingkungan keluarga yang kurang
mendukung
Lingkungan
keluarga memiliki peranan penting untuk menumbuhkan kesadaran pada diri anak.
Keluarga yang tidak mengenalkan anak pada sebuah adorasi maka anak belum tentu
mengenal apa itu adorasi. Bagaimana mungkin jika seorang anak belum mengenal
adorasi, ia akan beradorasi? Selain itu masalah dalam keluarga juga akan
memberikan dampak secara psikologis pada diri anak. Keluarga yang hancur tentu
akan sangat sulit bagi anak untuk mengenal sebuah adorasi. Maka dari itu,
keluarga merupakan faktor penting untuk menebarkan benih-benih semangat
beradorasi. Jika orang tua selalu melakukan adorasi, maka anak akan memiliki
rasa ingin tahu dan meniru tindakan itu. Jika orang tua tidak pernah melakukan
adorasi ataupun sibuk dengan kegiatannya masing-masing, tentu membuat hubungan
dengan Tuhan menjadi jauh. Terkadang masing-masing angota keluarga memiliki
kesibukan masing-masing sehingga keluarga bukan menjadi sarana untuk
mengenalkan adorasi. Sejatinya keluarga merupakan sarana yang penting bagi
pengenalan adorasi karena keluarga merupakan tempat sosialisasi pertama bagi
anak.
6.
Kurangnya pengetahuan tentang adorasi
Belum
banyak kaum muda yang memiliki pengetahuan tentang adorasi. Hal ini tentu membuat
kaum muda memiliki banyak pertanyaan. Untuk menambah wawasan tentang adorasi,
dapat dibuat sebuah seminar tentang adorasi ekaristi, ataupun kegiatan-kegiatan
lain yang bertujuan untuk menambah pengetahuan tentang adorasi bagi kaum muda.
7.
Merasa belum terpanggil untuk beradorasi
Belum
terpanggil? Menurut saya, alasan ini adalah alasan yang naïf. Setiap orang
telah dipanggil untuk beradorasi. Namun, apakah semua orang menanggapi
panggilan untuk beradorasi itu? Cukup direfleksikan pada diri kita masing-masing.
Dari berbagai macam alasan di atas, globalisasi
merupakan tantangan yang paling berat bagi kaum muda masa kini untuk
beradorasi. Memiliki cara pandang yang global tentang adorasi adalah sikap yang
yang bijaksana. Pertanyaannya adalah apakah Anda ingin menjadi korban atau
pemenang ?
Identitas Penulis
Nama :
Christina Wahyu Cahyani
Lingkungan : St. Thomas Ngagul-agulan
TTL :
Kebumen, 6 September 1992
Universitas : Sanata Dharma Yogyakarta
Prodi :
PGSD
0 comments on "Kaum Muda di Era Globalisasi Jarang Adorasi ?"
Post a Comment