Dari Sekolah Menjadi Gereja
Sejarah Paroki Klepu
Sejarah perkembangan gereja klepu (berarti bangunan fisik)
dengan Gereja Klepu (berarti paguyuban umat beriman) mempunyai kronologi yang
berbeda. Bangunan gereja berdiri tahun 1929. Tahun berikutnya, 1930 tepat pada
saat pemberkatan bangunan gereja diperingati sebagai titik tolak untuk
memperingati kelahiran Gereja Klepu. Sebenarnya sejarah Gereja Klepu lebih
panjang sebelum tahun 1930.
Masa awal umat katolik dan munculnya
sekolah-sekolah (1900-an)
Narasi tentang Gereja Klepu dimulai
dari penyebaran agama katolik pada masa colonial Belanda. Saat itu, umat
katolik sudah ada di pusat kota Yogyakarta walaupun pada tahun 1940. F. Van
Lith, SJ sudah membaptis 171 orang di Sendangsono. Komunitas umat katolik baru
mudah ditemukan di kota Yogyakarta. Di luar kota Yogyakarta selain Boro,
Sendangsono dan sekitarnya, ajaran katolik belum terlalu dikenal luas.
Para misionaris Jesuit yang sebagian
besar berkebangsaan eropa mulai mendatangi daerah pedesaan untuk menyebarkan
agama katolik. Pastor F. Strater, SJ (Romo Strater) sejak kedatangannya
mengenalkan iman kristiani. Bagi orang-orang di daerah Klepu dan sekitarnya
yang mau menerima ajaran tersebut, kemudian diajak untuk mengikuti magang di
Sedayu. Setelah selesai mengikuti magang dan dirasa sudah cukup matang tentang
pengetahuan ajaran katolik, mereka dibaptis di Gereja Kotabaru. Di Kotabaru
sudah berdiri sebuah paroki yang dikelola oleh misionaris Jesuit. Klepu dan
sekitarnya masih menjadi wilayah pewartaan Paroki Kotabaru.
Penduduk pribumi pedesaan awal abad
XX, sekitar tahun 1900-1920an, sebagian besar berprofesi sebagai kuli di
perkebunan tebu. Dari kecil sampai tua mereka merawat perkebunan tebu yang
dimiliki oleh tuan-tuan berkebangsaan Belanda. Tidak ada pilihan lain bagi
mereka yang berasal dari keluarga kuli karena tidak adanya kesempatan dan
kemampuan tertentu. Bahkan, mereka juga buta huruf. Para kuli yang sudah
disekolahkan akan naik pangkat menjadi mandor. Umat katolik awal berasal dari
orang-orang kelas bawah ini. Pastor F Strater, SJ mengajar mereka untuk membaca
dan menulis. Sebagian dari mereka yang tertarik dengan iman kristiani kemudian
memeluk agama katolik.
Romo Strater dengan peka membaca
situasi sosial masa itu. Dengan tujuan mengentaskan penduduk pribumi dari
kebutaan huruf, dia mendirikan sebuah sekolah tingkat dasar, resminya sekolah
ini bernama Volkschool (VS).
sekolah ini adalah sekolah desa tingkat dasar yang menyelenggarakan masa studi
selama tiga tahun (kelas 1 sampai kelas 3).
Ada beberapa VS yang didirikan oleh
Romo Strater. Pada masa itu, sekolah-sekolah ini menjadi lembaga pendidikan
generasi pertama yang memberikan layanan pendidikan. Bahkan pemerintah Belanda
pun belum mendirikan sekolah semacam ini di daerah Klepu dan sekitarnya. VS ini
terdapat di Sembuhan, Daratan, Kaliduren, dan Tiwir. VS yang didirikan di
Sembuhan kemudian dipindahkan ke Ngapak. Selanjutnya, pemerintah menyusul
mendirikan VS di Setran, Jonggrangan, Kebonagung, dan Balangan.
Mereka yang bersekolah sampai tamat di
VS dapat membaca, menulis huruf jawa serta kemampuan untuk menghitung. Karena
tingkat pendidikan naik, maka tingkat ekonomi juga naik karena mereka mendapat
pekerjaan sebagai penjaga telpon di pabrik atau mandor perkebunan. Minat untuk
masuk sekolah pun bertambah. Dengan bersekolah, ada harapan untuk memperbaiki
status sosial-ekonomi.
Benih-benih umat katolik muncul dari
berkembangnya sekolah-sekolah ini. Beberapa murid VS tertarik untuk mengikuti
magang/kursus pelajaran agama katolik di Sedayu. Sebulan sekali, mereka
mengikuti magang di Kotabaru. Babtisan pertama terjadi pada tahun 1916. Thomas
Sogol dari Kaliduren menjadi orang pertama yang dibaptis.
Perkembangan umat katolik bergerak
dengan lambat. Selang tiga tahun kemudian, 1919 baru ada satu orang lagi yang
dibabtis. Dua orang setelahnya, 1921 juga baru satu orang yang dibabtis. Tahun
berikutnya juga belum ada yang dibabtis. Tahun 1923, meningkat ada tujuh orang
dibabtis.
Melihat semakin tingginya minat
masyarakat untuk bersekolah, Romo Strater mendirikan sekolah lanjutan untuk VS.
Sekolah yang masa studinya dua tahun ini (kelas 4 dan kelas 5) dinamakan Vervolgschool (VVS). VVS yang pertama
ini didirikan di Ngijon. Kesempatan memperbaiki status sosial-ekonomi lebih
terbuka bagi para lulusan VVS. Tidak seperti para lulusan VS yang hanya menjadi
mandor, para lulusan VVS bisa bekerja sebagai pegawai rendah di kantor
pemerintah, pasar, pegadaian, dan instansi lain.
Kepala sekolah VVS, Y. Tedjo
Sastraatmadja, merelakan rumahnya di Gedongan sebagai kapel untuk berdoa dan
magang babtis. Karena banyak murid VVS yang menjadi katolik, ajaran katolik
menyebar ke daerah-daerah asal para murid VVS. Yang tertarik menjadi katolik
semakin banyak seiring dengan semakin banyaknya yang bersekolah di VVS Ngijon.
Dari Ngijon ke Klepu (1919-1929)
Para guru VVS Ngijon bersama dengan
seorang guru agama D. Ngadikin Wirjoutomo mengajar para katekumen (peserta
magang babtis). Para guru tersebut sekaligus menjadi katekis (guru agama).
Karena keterbatasan, tidak mungkin Romo mengajar semua katekumen tersebut. Pada
masa ini, pengajaran agama katolik memunculkan ciri khas tertentu yaitu
pengenalan doa-doa yang tadinya menggunakan bahasa latin ke bahasa jawa.
Walaupun Gereja Katolik baru memperbarui diri pada tahun 1960-an paska Konsili
Vatikan II, termasuk dalam hal penerjemahan ke bahasa-bahasa lokal, hal ini
sudah bisa dilakukan puluhan tahun sebelumnya di Jawa. Para katekumen yang
mempelajari agama katolik, diwajibkan untuk menghafal doa-doa Bapa Kami, Salam
Maria, Aku Percaya, Doa Tobat, dan sebagainya dalam bahasa jawa. Penulisan
doa-doa ini pun menggunakan tulisan jawa.
Proses penyesuaian budaya
(inkulturasi) ini tak hanya terjadi di daerah klepu dan sekitarnya. Pada saat
yang sama ajaran katolik di Bantul dan sekitarnya, seperti yang terlihat pada
dibangunnya candi Ganjuran sebagai tempat peribadatan umat Katolik. Dengan
demikian, ajaran katolik bisa lebih mudah dipahami dan dimengerti oleh
masyarakat setempat. Penyebaran agama katolik yang disertai dengan inkulturasi
ini sangat berpengaruh pada banyak orang yang bersedia dibabtis setiap
tahunnya. Dalam kurun waktu sepuluh tahun, dari tahun 1919 sampai tahun 1929,
tercatat ada sekitar 150 orang yang dibabtis.
Perkembangan umat katolik tetap
berbasis pada perkembangan sekolah. Karena kebutuhan tenaga pengajar, maka
didirikan Volks onderwys (VO). VO
adalah kursus dua tahun bagi lulusan VVS yang berminat menjadi guru. Setelah
mengikuti Vo selama dua tahun, para lulusannya bisa mengajar di VS.
Pada tahun 1926, VVS Ngijon dipindahkan
ke Klepu. Sebelumnya VVS di Ngijon ini hanya menumpang di rumah penduduk
sebelah utara pasar Ngijon. VVS di Klepu menempati gedung milik sendiri. Tiga
tahun kemudian, 1929 didirikan bangunan gereja di depan gedung VVS. Sebelumnya
di Gedongan sudah ada rumah umat yang dijadikan kapel. Karena dianggap terlalu
sempit, maka bangunan gereja yang mulai dibangun di Klepu tersebut digunakan
sebagai pengganti kapel di Gedongan.
Menjadi Stasi Klepu-Ngijon
(1930-1942)
Gereja Klepu yang terletak di Klepu diberkati
Vikaris Apostolik (vikep) Batavia, Mgr. van Wilkens, SJ pada tanggal 25 Agustus
1929. Karena mendapatkan santo pelindung, Santo Petrus dan Santo Paulus yang
diperingati setiap tanggal 29 Juni, maka perayaan ulang tahun gereja juga
dilaksanakan setiap tanggal tersebut. Maka, resmilah Stasi Klepu-Ngijon.
Romo Strater tetap dianggap sebagai
perintis yang tetap melanjutkan misi-misinya. Romo Strater kemudian membentuk
kelompok-kelompok umat yang akan dikunjungi (visitasi) untuk pengajaran agama.
Kelompok-kelompok umat ini dibentuk berdasarkan dusun tempat mereka tinggal
semisal, Setran, Keron, Sejati, Ngento-ento, Kerdan, Daratan, Kleben, Godean,
dan sebagainya. Pada perkembangannya umat yang tersebar tersebut menggunakan
satu tempat yang sama untuk berkumpul dan dinamakan stasi. Di stasi-stasi
itulah Romo Strater dan para rohaniwan lain baik yang berkebangsaan Eropa
maupun yang pribumi serta para frater dari Kotabaru melakukan visitasi.
Masa Pendudukan Jepang (1942-1945)
Ada perubahan situasi yang cukup
penting pada masa pendudukan Jepang selama tiga tahun (1942-1945). Tepat pada
tahun 1942, Jepang menggantikan Belanda menduduki Hindia Belanda atau
Indonesia. Pemerintah militer Jepang melakukan pengumpulan secara paksa
orang-orang berkebangsaan Belanda ke dalam suatu camp konsentrasi, atau lebih dikenal dengan nama internir. Banyak
sekali rohaniwan katolik berkebangsaan Belanda yang diinternir. Mereka
dimasukkan camp konsentrasi di Suka
Miskin.
Malangnya, kondisi ini juga dialami
oleh Romo Strater. Sebenarnya Romo Strater berkebangsaan Jerman sehingga dia
tidak seharusnya ditangkap oleh tentara Jepang. Ketiga negara, Jerman, Jepang,
dan Italia menjadi satu kelompok poros (axes)
yang dilawan oleh kelompok sekutu (allies)
yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Inggris. Hal serupa juga dialami oleh
Romo Prenthaler di Boro. Sesudah Romo Prenthaler ditangkap tentara Jepang,
kemudian dilepaskan lagi karena berkebangsaan Jerman. Romo Strater tidak
mengalami kejadian yang sama. Romo Strater dianggap berpihak kepada Belanda
karena mendoakan keadaan agar menjadi kembali aman, maka dia tetap ditempatkan
di Suka Miskin.
Situasi ini cukup berpengaruh pada
kehidupan menggereja umat katolik. Umat banyak kehilangan para romo yang
memimpin gereja-gereja lokal di pedesaan. Di Klepu, para romo pribumi dan romo
yang non-Belanda bergantian melakukan visitasi secara diam-diam. Mereka dibantu
oleh para frater.
Peran umat awam sangat penting pada
masa ini. R.G. Tarub Hardja Adisoemarto dan beberapa tokoh lain sangat
berpengaruh pada kelangsungan kehidupan beribadah di Gereja Klepu. Ibadat tetap
dilakukan secara rutin. Terkadang, Bapak Hardja Adisoemarto berkeliling untuk
memberitahu umat yang ingin mengikuti ekaristi karena ada romo yang dating.
Umat Katolik juga menjaga agar gereja Klepu tidak dirusak oleh tentara Jepang.
Pada masa itu juga, pemerintah Jepang melarang penggunaan salib di gedung joglo
gereja Klepu. Akhirnya ujung menara joglo yang tadinya ada salibnya diganti
dengan tempayan tanah liat (pengaron).
Kondisi sosial masyarakat di bawah
penjajahan Jepang semakin memprihatinkan. Para kepala keluarga diwajibkan untuk
kerja paksa. Kekurangan pangan dan pakaian terjadi dimana-mana. Semua sumber
daya diperas untuk perang. Bahkan, penyakit seperti malaria, pes, disentri, tipus
dan pes mulai melanda tanpa pelayanan kesehatan yang memadai.
Gereja Katolik ikut dirugikan. Di
Klepu, minat umat untuk mengikuti ekaristi di gereja menurun. Mereka yang pergi
ke gereja adalah orang-orang yang mempunyai pakaian yang layak itupun dipakai
secara bergantian. Sekolah-sekolah milik gereja yang sering disebut sekolah
Misi ditutup. Gedung-gedungnya digunakan sebagai markas militer tentara Jepang.
Keadaan Gereja Katolik menyesuaikan
dengan kondisi sosial politik pada zamannya. Kondisi berubah pada saat Jepang
menyerah pada sekutu setelah kota Nagasaki dan Hiroshima dijatuhi bom atom oleh
Amerika Serikat. Para pejuang kemerdekaan di Jakarta memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia yang diwakili Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta. Dengan
begitu Hindia Belanda sudah tidak ada lagi melainkan Republik Indonesia.
Seiring dengan kemerdekaan Indonesia, dua sekolah Misi dibuka kembali. Dua
sekolah yang disebut sekolah kanisius tersebut yaitu sekolah kanisius Klepu dan
kanisius Ngapak. Kedua sekolah ini dibuka atas peran Ibu Muslimah dan Bapak
Hardja Adisoemarto di Klepu serta Bapak A. Salekan dan Bapak P. Sudono di
Ngapak.
Masa Perang Kemerdekaan (1945-1949)
Selepas pendudukan Jepang, Belanda
ingin kembali menjajah Indonesia. Situasi ini tentu saja menjadikan masyarakat
secara umum dan khususnya umat Katolik terus bergejolak mengingat agama Katolik
diperkenalkan oleh orang-orang Belanda. Mgr. Albertus Magnuss Soegijopranoto,
SJ, uskup pribumi pertama di Indonesia menyatakan berpihak pada kemerdekaan
Indonesia. Oleh karena itu, banyak umat katolik yang berjuang membela
kemerdekaan Indonesia, sebagian dari mereka bahkan dikenal sebagai pahlawan
kemerdekaan seperti Adisutjipto di Yogyakarta dan Slamet Rijadi di Surakarta.
Mgr. Soegijopranoto pun kelak diangkat sebagai pahlawan nasional. Keberpihakan
Gereja Katolik diwujudnyatakan dengan pemindahan pusat Keuskupan dari Semarang
ke Yogyakarta seiring perpindahan Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke
Yogyakarta.
Kondisi sosial umat Gereja Klepu
tidak jauh berubah. Umat tetap miskin karena perang. Sepanjang jalan digali
lobang-lobang dan diberi rintangan agar tidak bisa diakses tentara Belanda.
Jembatan-jembatan diputus. Bangunan-bangunan dihancurkan dan dibakar agar tidak
bisa digunakan sebagai markas tentara Belanda. Pintu-pintu gereja Klepu pernah
dibongkar paksa oleh masyarakat karena kekhawatiran bahwa gereja akan dijadikan
markas tentara Belanda. Romo yang bertugas di Stasi Klepu saat itu, J. van
Lingoed, SJ sangat marah. Romo van Lingoed menyatakan bahwa gereja Klepu tidak
akan digunakan sebagai markas tentara Belanda karena mereka menganggap gereja
sebagai Bait Allah. Kemudian, masyarakat percaya dan pintu-pintu gereja
dipasang kembali. Panewu Pamong Praja (Camat) Moyudan saat itu yang juga
seorang Katolik ikut menjaga agar gereja Klepu aman dari pembakaran. Selain
ikut menjaga gereja dari perusakan kedua belah pihak, bapak camat yang selalu
menyamar saat ke gereja ini juga ikut bergabung dengan pasukan gerilya.
Walaupun umat Katolik banyak yang
berperang, perayaan ekaristi tetap berlangsung setiap minggunya. Pada masa ini
para romo yang melayani di gereja Klepu banyak dan berganti-ganti dan tidak ada
yang menetap di gereja Klepu.
Dari Stasi Klepu ke Paroki Klepu
(1950-1975)
Tahun 1950 Romo van Lingoed
mempelopori pembangunan gereja baru di sebelah barat gereja lama. Pembangunan
baru dimulai tahun 1951. Gereja membeli bongkaran bangunan pabrik gula di Padon
dan Rewulu untuk timbunan lantai gereja yang baru. Bangunan gereja baru
berpondasi sedalam 2 meter. Tanah galian pondasi tersebut digunakan untuk
memperbaiki jalan yang berlobang sepanjang Godean sampai Ngapak.
Bangunan gereja baru tersebut
selesai dikerjakan pada setahun kemudian, tahun 1952, bulan Desember. Perayaan
natal pertama di gereja yang baru dilaksanakan di gereja ini yang beratapkan
anyaman bamboo. Pada perayaan natal tahun 1952 menempati gereja baru, ekaristi
dipimpin oleh J. Zoetmoelder, seorang romo yang dikenal sebagai ahli kebudayaan
jawa. Pada waktu itu, Romo Zoetmoelder baru memperdalam Bahasa Jawa. Setahun
sesudahnya, pada tanggal 23 Agustus 1953, gereja baru ini diberkati oleh Uskup
Mgr. Soegijopranoto, SJ.
Justru setelah bangunan gereja bisa
digunakan dengan baik, kesehatan Romo van Lingoed menjadi menurun. Oleh karena
itu, ada romo yang dating untuk menggantikan Romo van Lingoed sebagai ‘Gembala
umat’, sedangkan Romo van Lingoed dating setiap sabtu-minggu. Romo baru yang
bertugas yaitu P. van Wurkens, SJ.
Masa penggembalaan Romo van Wurkens
dikenang dengan pendirian SMP di Klepu. SMP ini kemudian menjadi SMP Kanisius
Klepu. Perkembangan sekolah-sekolah menengah di lingkup gereja berkembang pesat
pada masa ini. Karena sudah tidak mampu menampung murid, maka dibuka SMP Santo
Yusup yang melaksanakan kegiatan belajar di gedung SMP Kanisius pada sore hari
pada tahun 1956. Setahun sesudahnya, 1957, dibuka SMP baru di Godean dengan
nama SMP Santo Albertus.
Romo van Wurkens bertugas sampai tahun
1955 bulan Agustus. Ketika Romo van Wurkens pindah tugas, di Klepu masih sedang
proses pembangunan gedung pastoran yang terletak berseberangan jalan dengan
gereja Klepu. Romo baru yang menggantikan, S. Hardaparmoko, SJ adalah romo yang
bertugas menjadi romo gembala di Klepu sekaligus Sedayu. Romo Hardaparmoko
bertugas di Klepu dibantu oleh Bruder M. Tirtasumarta, SJ dan Frater B.
Pudjarahardja yang kemudian menjadi Uskup Ketapang.
Pada masa penggembalaan Romo
Hardaparmoko, pengembangan keorganisasian masyarakat berkembang dengan
munculnya banyak organisasi di lingkup Stasi Klepu dan Sedayu. Umat Katolik
pada masa ini sarat dengan dunia keorganisasian seperti: PGK, MKI, WK,dsb.
Dalam dunia politik, Partai Katolik muncul pada masa ini. Beberapa umat Katolik
di Klepu dan Sedayu banyak terlibat dalam aktivitas politik misalnya bergabung
dengan Partai Katolik. Para aktivis organisasi ini kemudian menjadi aktivis di
gereja.
Romo Hardaparmoko dikenal sebagai
Bapak pendiri Paroki Klepu. Pada tahun 1955, Stasi Klepu-Ngijon resmi menjadi
Paroki Klepu. Dengan demikian Romo Hardaparmoko menjadi romo pertama Paroki
Klepu. Romo Hardaparmoko meninggalkan Paroki Klepu pada tahun 1960, dan
digantikan oleh Romo T. Wignyosupatmo, SJ. Bruder Tirtasumarta tetap tinggal di
Paroki Klepu.
Situasi sosial ekonomi tahun 1960-an
cukup memprihatinkan. Masyarakat mengalami krisis pangan seperti pada masa
penjajahan Jepang. Di sekitar Gereja Klepu, sawah-sawah mengalami kekeringan
dan gagal panen. Romo Wignyosupatmo mengajak umat untuk berdoa mohon hujan
dengan berkeliling sawah, dari Klepu utara menuju Danten, Sumber, Kalawenang
kemudian sampai kembali ke Klepu. Situasi politik juga memanas seiring
dimunculkannya Trikora oleh Presiden Soekarno untuk merebut Irian Barat.
Ditengah situasi sosial ekonomi politik yang sedang memanas tersebut, Romo
Wignyosupatmo mendirikan SMA Albertus di Klepu. Tahun 1962, Romo Wignyosupatmo
diganti oleh Romo I.M. Haryadi, Pr, bekas pastor militer yang baru saja
bertugas bersama pasukan Garuda. Romo Haryadi adalah romo projo pertama yang
bertugas di Paroki Klepu.
H.A.M. Taks, SJ, seorang romo
berkebangsaan Belanda yang dating menggantikan Romo Haryadi setelah 2 tahun
bertugas di Klepu. Romo Taks bertugas di Klepu dari tahun 1964-1975. Romo
Taks adalah pastor paroki yang terlama
menggembalakan umat di Paroki Klepu. Dalam kurun waktu 10 tahun tersebut, Romo
Taks membawa banyak perubahan di Paroki Klepu. Berbagai kebijakan Romo Taks
sangat mempengaruhi sistem pengelolaan umat di Paroki Klepu. Sistem tersebut masih
dipakai dan dikembangkan selepas Romo Taks meninggalkan Paroki Klepu.
Langkah awal yang dilakukan oleh
Romo Taks yaitu pendataan umat di tiap-tiap stasi/kukuban. Setelah pendataan,
Romo Taks mengusahakan buku-buku yang mendukung kehidupan rohani. Proses
selanjutnya, penggantian istilah stasi/kukuban menjadi kring. Ada 43 kring di
lingkup Paroki Klepu. Pembagian kring dilaksanakan dengan pertimbangan jumlah
umat dan pembagian wilayah pemerintah. Setiap kring dipimpin oleh Ketua Kring
yang bertanggung jawab kepada pengurus PHP (Pengurus Harian Paroki). Setiap
umat katolik diwajibkan mempunyai NPWP (Nomor Pajak Wajib Paroki). Kartu NPWP
didistribusikan oleh sekretaris dan bendahara. Dibawah ketua, ada 9 Tim Kerja
yang masing-masing mempunyai kepengurusan serta agenda tersendiri. Pencatatan
pun menjadi lebih administrative. PHP mempunyai agenda untuk mengadakan rapat
rutin. Rapat dipimpin sendiri oleh Romo Taks.
Soal keuangan, Romo Taks menekankan
kemandirian ekonomi. Sumber keuangan paroki berasal dari dana yang diberikan
oleh masing-masing keluarga. Dana yang diserahkan tiap bulan dimasukkan kedalam
amplop yang dinamakan Pisungsung kagem
Gusti. Dengan begitu umat diberdayakan untuk bertanggung jawab dengan
keuangan paroki.
Romo Taks juga berinisiatif untuk
membangun kembali bangunan pastoran yang mulai rusak. Bangunan didesain sendiri
oleh Romo Taks sekaligus bertindak sebagai pelaksana. Dalam waktu 1 tahun (1965-1966),
pastoran baru sudah jadi dan siap digunakan.
Bersamaan dengan pembaruan yang
terjadi di dalam Gereja Katolik paska Konsili Vatikan II, tata liturgy dan
peribadatan di Klepu juga dirubah. Dalam ekaristi yang tadinya Romo
membelakangi umat, dibalik sehingga romo dan umat bisa berhadap-hadapan. Secara
resmi, Bahasa Jawa sudah digunakan dalam ekaristi menggantikan Bahasa Latin.
Penyelenggaraan ekaristi tidak lagi berpusat di gereja Klepu tapi juga
dilaksanakan di Kring-kring. Pelajaran agama tetap berlangsung. Untuk
meningkatkan minat remaja agar mendaftar ke seminari, para Putra Altar diberi
kursus bahasa Inggris oleh Romo Taks.
Situasi ekonomi yang tidak menentu
menyebabkan masyarakat mengalami kekurangan bahan pangan dan pakaian. Tergerak
oleh keprihatinan ini, Romo Taks mendatangkan bahan pangan dari luar negeri.
Dibantu oleh para ketua kring, bahan pangan dibagikan kepada umat dengan hanya
mengganti ongkos kirim sehingga biayanya bisa murah. Pakaian bekas didatangkan
dari para donator. Karena layanan listrik belum masuk pedesaan, penerangan
masih minim, oleh karena itu, Romo Taks memesan lampu petromaks langsung dari
pabriknya di Jerman untuk dibagikan kepada umat di masing-masing Kring.
Umat didorong untuk lebih produktif.
Dimulai dengan diberi contoh beternak ayam ras petelur di pastoran, banyak umat
yang kemudian menirunya. Pemasarannya diupayakan oleh Romo Taks sendiri dengan
menjalin relasi dengan toko-toko roti di kota sehingga para peternak bisa
menjadi pemasok. Setelah semakin banyak umat yang beternak ayam ras petelur,
Romo Taks mengurangi jumlah ternak ayam di Pastoran menjadi sedikit demi
sedikit sampai habis sehingga lebih berfokus pada pendampingan para peternak
ayan dan pengelolaan koperasi simpan pinjam. Tidak adanya sarana kesehatan yang
memadai juga membuat Romo Taks menjadi pelopor berdirinya Politeknik Panti
Baktiningsih. Dengan meminta bantuan para suster Charitas di Palembang.
Poliklinik dibangun di tanah sebelah utara pastoran yang dibeli oleh Gereja.
Poliklinik ini yang kemudian berkembang menjadi Rumah Sakit Panti Baktiningsih.
Pendirian poliklinik ini dilanjutkan dengan pengerasan jalan menuju ke
Poliklinik. Dengan didirikannya poliklinik ini, orang yang sakit tidak lagi
dibawa ke kota karena sebelumnya Romo Taks memesan mobil dari Perancis sebagai
sarana transportasi.
Setelah kebijakan pemerintah paska
G30 S dan pelarangan PKI, masyarakat diwajibkan untuk mempunyai agama. Tahun
1967, jumlah babtisan di Gereja Klepu meningkat tajam. Lebih dari 1000 orang
yang bersedia dibabtis. Dengan begitu, jumlah umat pun semakin banyak.
Berkembangnya Paroki Klepu
(1975-2000)
Selepas
kepindahan Romo Taks ke Paroki Delanggu tahun 1975, perkembangan paroki Klepu
terus berlanjut. Di bidang pendidikan, sempat didirikan beberapa sekolah
setingkat SMA yaitu: SMA Albertus Godean, SPG Albertus Klepu, SMA Santi Dharma
Godean, SPG Budi Mulia Padon, SMEA Naraputra-Daratan. Pelayanan ini dibantu
oleh peran para bruder Budi Mulia (BM) dan suster-suster Hati Kudus yang
memulai karya di Paroki Klepu.
Dekade 80an Paroki Klepu jumlah
babtisan setiap tahunnya tinggi. Lebih dari 500 jiwa setiap tahunnya mengikuti
babtisan, sudah termasuk yang babtisan bayi. Kapel
Pojok yang tadinya dijadikan tempat pelayanan umat di Kelurahan Sendangagung
dan sekitarnya ditingkatkan statusnya menjadi gereja Pojok. Dengan
demikian, di Paroki Klepu terdapat 2 gereja dan kapel-kapel lain yaitu Kapel
Gatak, Kapel Kleben, Kapel Godean, Kapel Ngento-ento, Kapel Sejati, dan Kapel
Daratan.
Tahun 1986, di Jitar didirikan
ziarah bernama Sendang Jatiningsih. Tempat ziarah yang tadinya diperuntukkan
untuk umat di sekitar Jitar dan Pingitan ini kemudian dikenal luas. Sendang
Jatiningsih selanjutnya menjadi tempat ziarah dikenal di lingkup Yogyakarta.
Pada periode ini, peran romo-romo Jesuit mulai dikurangi. Romo M. Supriyanto,
Pr adalah romo projo pertama yang memimpin Paroki Klepu setelah diserahkannya
tongkat penggembalaan dari Serikat Yesus (SJ) ke Keuskupan Agung Semarang
(KAS).
Paroki Klepu saat ini (2000-2012)
Paroki Klepu mengalami perkembangan
dalam hal jumlah umat. Jumlah umat mencapai 9000 orang. Umat tidak hanya
beribadah di gereja pusat (gereja klepu) tapi juga di kapel-kapel. Atas
inisiatif Romo M. Nurwidi Pranoto, Pr pada perayaan 75 tahun Paroki Klepu tahun
2005, jumlah lingkungan yang tadinya 53 lingkungan dimekarkan menjadi 81
lingkungan. Pemekaran lingkungan ini terus dikaji, 4 tahun setelahnya (2009),
jumlah lingkungan dimekarkan lagi menjadi 83 lingkungan.
Paroki Klepu sebagai ‘Gudang
Panggilan’. Berdasar catatan sampai tahun 2010, umat Paroki Klepu yang
terpanggil menjadi rohaniwan dan rohaniwati sudah mencapai lebih dari 200
orang. Beberapa rohaniwan bahkan dikenal sebagai tokoh-tokoh katolik Indonesia,
seperti Mgr. Justinus Darmoyuwono, SJ, Kardinal pertama Indonesia; Mgr.
Julianus Sunarko, SJ, Uskup Purwokerto; dan Mgr. Aloysius Sudarso, SCJ, Uskup
Agung Palembang.
Keprihatinan yang dirasakan oleh
umat Paroki Klepu yaitu menurunnya minat remaja Paroki Klepu untuk mendaftar
seminari. Oleh karena itu, sejak 2007, Dewan Paroki Klepu mengadakan
program-program yang berkaitan dengan peningkatan minat panggilan.
Di bidang sosial ekonomi, Romo E. M.
Supranowo, Pr mendirikan Credit Union (CU). Minat masyarakat baik umat katolik
maupun umum untuk menjadi anggota CU meningkat. Perkembangan selanjutnya, CU
membuka kantor pelayanan di sebelah timur gereja klepu. Sarana fisik juga
dikembangkan dengan dibangunnya pastoran baru yang menjadi komplek gedung
pelayanan pastoran. Inisiatif ini diambil oleh Romo F.X. Murdisusanto, Pr. Saat
ini gereja klepu telah memiliki gedung pastoran yang baru. Kantor pelayanan CU
juga berada di komplek pastoran baru yang berada di sebelah barat gereja klepu.
Sumber : Buku 80 tahun PAroki Klepu.
2 comments on "Sejarah Paroki Klepu"
waw..keyeennnn....wes berpuluh2 halaman ki mesti..hahaha... :p
haahahaaaay,,,,, ya iyalaaaaaaaaaaaaaaaah kakaaaaks :D
Post a Comment