Sunday, August 26, 2012

Sejarah Paroki Klepu

Posted by wahyu cahyani at 1:36 PM

Dari Sekolah Menjadi Gereja
Sejarah Paroki Klepu

Sejarah perkembangan gereja klepu (berarti bangunan fisik) dengan Gereja Klepu (berarti paguyuban umat beriman) mempunyai kronologi yang berbeda. Bangunan gereja berdiri tahun 1929. Tahun berikutnya, 1930 tepat pada saat pemberkatan bangunan gereja diperingati sebagai titik tolak untuk memperingati kelahiran Gereja Klepu. Sebenarnya sejarah Gereja Klepu lebih panjang sebelum tahun 1930.

Masa awal umat katolik dan munculnya sekolah-sekolah (1900-an)
­                        Narasi tentang Gereja Klepu dimulai dari penyebaran agama katolik pada masa colonial Belanda. Saat itu, umat katolik sudah ada di pusat kota Yogyakarta walaupun pada tahun 1940. F. Van Lith, SJ sudah membaptis 171 orang di Sendangsono. Komunitas umat katolik baru mudah ditemukan di kota Yogyakarta. Di luar kota Yogyakarta selain Boro, Sendangsono dan sekitarnya, ajaran katolik belum terlalu dikenal luas.
            Para misionaris Jesuit yang sebagian besar berkebangsaan eropa mulai mendatangi daerah pedesaan untuk menyebarkan agama katolik. Pastor F. Strater, SJ (Romo Strater) sejak kedatangannya mengenalkan iman kristiani. Bagi orang-orang di daerah Klepu dan sekitarnya yang mau menerima ajaran tersebut, kemudian diajak untuk mengikuti magang di Sedayu. Setelah selesai mengikuti magang dan dirasa sudah cukup matang tentang pengetahuan ajaran katolik, mereka dibaptis di Gereja Kotabaru. Di Kotabaru sudah berdiri sebuah paroki yang dikelola oleh misionaris Jesuit. Klepu dan sekitarnya masih menjadi wilayah pewartaan Paroki Kotabaru.
            Penduduk pribumi pedesaan awal abad XX, sekitar tahun 1900-1920an, sebagian besar berprofesi sebagai kuli di perkebunan tebu. Dari kecil sampai tua mereka merawat perkebunan tebu yang dimiliki oleh tuan-tuan berkebangsaan Belanda. Tidak ada pilihan lain bagi mereka yang berasal dari keluarga kuli karena tidak adanya kesempatan dan kemampuan tertentu. Bahkan, mereka juga buta huruf. Para kuli yang sudah disekolahkan akan naik pangkat menjadi mandor. Umat katolik awal berasal dari orang-orang kelas bawah ini. Pastor F Strater, SJ mengajar mereka untuk membaca dan menulis. Sebagian dari mereka yang tertarik dengan iman kristiani kemudian memeluk agama katolik.
            Romo Strater dengan peka membaca situasi sosial masa itu. Dengan tujuan mengentaskan penduduk pribumi dari kebutaan huruf, dia mendirikan sebuah sekolah tingkat dasar, resminya sekolah ini bernama Volkschool (VS). sekolah ini adalah sekolah desa tingkat dasar yang menyelenggarakan masa studi selama tiga tahun (kelas 1 sampai kelas 3).
            Ada beberapa VS yang didirikan oleh Romo Strater. Pada masa itu, sekolah-sekolah ini menjadi lembaga pendidikan generasi pertama yang memberikan layanan pendidikan. Bahkan pemerintah Belanda pun belum mendirikan sekolah semacam ini di daerah Klepu dan sekitarnya. VS ini terdapat di Sembuhan, Daratan, Kaliduren, dan Tiwir. VS yang didirikan di Sembuhan kemudian dipindahkan ke Ngapak. Selanjutnya, pemerintah menyusul mendirikan VS di Setran, Jonggrangan, Kebonagung, dan Balangan.
            Mereka yang bersekolah sampai tamat di VS dapat membaca, menulis huruf jawa serta kemampuan untuk menghitung. Karena tingkat pendidikan naik, maka tingkat ekonomi juga naik karena mereka mendapat pekerjaan sebagai penjaga telpon di pabrik atau mandor perkebunan. Minat untuk masuk sekolah pun bertambah. Dengan bersekolah, ada harapan untuk memperbaiki status sosial-ekonomi.
            Benih-benih umat katolik muncul dari berkembangnya sekolah-sekolah ini. Beberapa murid VS tertarik untuk mengikuti magang/kursus pelajaran agama katolik di Sedayu. Sebulan sekali, mereka mengikuti magang di Kotabaru. Babtisan pertama terjadi pada tahun 1916. Thomas Sogol dari Kaliduren menjadi orang pertama yang dibaptis.
            Perkembangan umat katolik bergerak dengan lambat. Selang tiga tahun kemudian, 1919 baru ada satu orang lagi yang dibabtis. Dua orang setelahnya, 1921 juga baru satu orang yang dibabtis. Tahun berikutnya juga belum ada yang dibabtis. Tahun 1923, meningkat ada tujuh orang dibabtis.
            Melihat semakin tingginya minat masyarakat untuk bersekolah, Romo Strater mendirikan sekolah lanjutan untuk VS. Sekolah yang masa studinya dua tahun ini (kelas 4 dan kelas 5) dinamakan Vervolgschool (VVS). VVS yang pertama ini didirikan di Ngijon. Kesempatan memperbaiki status sosial-ekonomi lebih terbuka bagi para lulusan VVS. Tidak seperti para lulusan VS yang hanya menjadi mandor, para lulusan VVS bisa bekerja sebagai pegawai rendah di kantor pemerintah, pasar, pegadaian, dan instansi lain.
            Kepala sekolah VVS, Y. Tedjo Sastraatmadja, merelakan rumahnya di Gedongan sebagai kapel untuk berdoa dan magang babtis. Karena banyak murid VVS yang menjadi katolik, ajaran katolik menyebar ke daerah-daerah asal para murid VVS. Yang tertarik menjadi katolik semakin banyak seiring dengan semakin banyaknya yang bersekolah di VVS Ngijon.

Dari Ngijon ke Klepu (1919-1929)
            Para guru VVS Ngijon bersama dengan seorang guru agama D. Ngadikin Wirjoutomo mengajar para katekumen (peserta magang babtis). Para guru tersebut sekaligus menjadi katekis (guru agama). Karena keterbatasan, tidak mungkin Romo mengajar semua katekumen tersebut. Pada masa ini, pengajaran agama katolik memunculkan ciri khas tertentu yaitu pengenalan doa-doa yang tadinya menggunakan bahasa latin ke bahasa jawa. Walaupun Gereja Katolik baru memperbarui diri pada tahun 1960-an paska Konsili Vatikan II, termasuk dalam hal penerjemahan ke bahasa-bahasa lokal, hal ini sudah bisa dilakukan puluhan tahun sebelumnya di Jawa. Para katekumen yang mempelajari agama katolik, diwajibkan untuk menghafal doa-doa Bapa Kami, Salam Maria, Aku Percaya, Doa Tobat, dan sebagainya dalam bahasa jawa. Penulisan doa-doa ini pun menggunakan tulisan jawa.
            Proses penyesuaian budaya (inkulturasi) ini tak hanya terjadi di daerah klepu dan sekitarnya. Pada saat yang sama ajaran katolik di Bantul dan sekitarnya, seperti yang terlihat pada dibangunnya candi Ganjuran sebagai tempat peribadatan umat Katolik. Dengan demikian, ajaran katolik bisa lebih mudah dipahami dan dimengerti oleh masyarakat setempat. Penyebaran agama katolik yang disertai dengan inkulturasi ini sangat berpengaruh pada banyak orang yang bersedia dibabtis setiap tahunnya. Dalam kurun waktu sepuluh tahun, dari tahun 1919 sampai tahun 1929, tercatat ada sekitar 150 orang yang dibabtis.
            Perkembangan umat katolik tetap berbasis pada perkembangan sekolah. Karena kebutuhan tenaga pengajar, maka didirikan Volks onderwys (VO). VO adalah kursus dua tahun bagi lulusan VVS yang berminat menjadi guru. Setelah mengikuti Vo selama dua tahun, para lulusannya bisa mengajar di VS.
            Pada tahun 1926, VVS Ngijon dipindahkan ke Klepu. Sebelumnya VVS di Ngijon ini hanya menumpang di rumah penduduk sebelah utara pasar Ngijon. VVS di Klepu menempati gedung milik sendiri. Tiga tahun kemudian, 1929 didirikan bangunan gereja di depan gedung VVS. Sebelumnya di Gedongan sudah ada rumah umat yang dijadikan kapel. Karena dianggap terlalu sempit, maka bangunan gereja yang mulai dibangun di Klepu tersebut digunakan sebagai pengganti kapel di Gedongan.
Menjadi Stasi Klepu-Ngijon (1930-1942)
            Gereja Klepu yang terletak di Klepu diberkati Vikaris Apostolik (vikep) Batavia, Mgr. van Wilkens, SJ pada tanggal 25 Agustus 1929. Karena mendapatkan santo pelindung, Santo Petrus dan Santo Paulus yang diperingati setiap tanggal 29 Juni, maka perayaan ulang tahun gereja juga dilaksanakan setiap tanggal tersebut. Maka, resmilah Stasi Klepu-Ngijon.
            Romo Strater tetap dianggap sebagai perintis yang tetap melanjutkan misi-misinya. Romo Strater kemudian membentuk kelompok-kelompok umat yang akan dikunjungi (visitasi) untuk pengajaran agama. Kelompok-kelompok umat ini dibentuk berdasarkan dusun tempat mereka tinggal semisal, Setran, Keron, Sejati, Ngento-ento, Kerdan, Daratan, Kleben, Godean, dan sebagainya. Pada perkembangannya umat yang tersebar tersebut menggunakan satu tempat yang sama untuk berkumpul dan dinamakan stasi. Di stasi-stasi itulah Romo Strater dan para rohaniwan lain baik yang berkebangsaan Eropa maupun yang pribumi serta para frater dari Kotabaru melakukan visitasi.

Masa Pendudukan Jepang (1942-1945)
            Ada perubahan situasi yang cukup penting pada masa pendudukan Jepang selama tiga tahun (1942-1945). Tepat pada tahun 1942, Jepang menggantikan Belanda menduduki Hindia Belanda atau Indonesia. Pemerintah militer Jepang melakukan pengumpulan secara paksa orang-orang berkebangsaan Belanda ke dalam suatu camp konsentrasi, atau lebih dikenal dengan nama internir. Banyak sekali rohaniwan katolik berkebangsaan Belanda yang diinternir. Mereka dimasukkan camp konsentrasi di Suka Miskin.
            Malangnya, kondisi ini juga dialami oleh Romo Strater. Sebenarnya Romo Strater berkebangsaan Jerman sehingga dia tidak seharusnya ditangkap oleh tentara Jepang. Ketiga negara, Jerman, Jepang, dan Italia menjadi satu kelompok poros (axes) yang dilawan oleh kelompok sekutu (allies) yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Inggris. Hal serupa juga dialami oleh Romo Prenthaler di Boro. Sesudah Romo Prenthaler ditangkap tentara Jepang, kemudian dilepaskan lagi karena berkebangsaan Jerman. Romo Strater tidak mengalami kejadian yang sama. Romo Strater dianggap berpihak kepada Belanda karena mendoakan keadaan agar menjadi kembali aman, maka dia tetap ditempatkan di Suka Miskin.
            Situasi ini cukup berpengaruh pada kehidupan menggereja umat katolik. Umat banyak kehilangan para romo yang memimpin gereja-gereja lokal di pedesaan. Di Klepu, para romo pribumi dan romo yang non-Belanda bergantian melakukan visitasi secara diam-diam. Mereka dibantu oleh para frater.
            Peran umat awam sangat penting pada masa ini. R.G. Tarub Hardja Adisoemarto dan beberapa tokoh lain sangat berpengaruh pada kelangsungan kehidupan beribadah di Gereja Klepu. Ibadat tetap dilakukan secara rutin. Terkadang, Bapak Hardja Adisoemarto berkeliling untuk memberitahu umat yang ingin mengikuti ekaristi karena ada romo yang dating. Umat Katolik juga menjaga agar gereja Klepu tidak dirusak oleh tentara Jepang. Pada masa itu juga, pemerintah Jepang melarang penggunaan salib di gedung joglo gereja Klepu. Akhirnya ujung menara joglo yang tadinya ada salibnya diganti dengan tempayan tanah liat (pengaron).
            Kondisi sosial masyarakat di bawah penjajahan Jepang semakin memprihatinkan. Para kepala keluarga diwajibkan untuk kerja paksa. Kekurangan pangan dan pakaian terjadi dimana-mana. Semua sumber daya diperas untuk perang. Bahkan, penyakit seperti malaria, pes, disentri, tipus dan pes mulai melanda tanpa pelayanan kesehatan yang memadai.
            Gereja Katolik ikut dirugikan. Di Klepu, minat umat untuk mengikuti ekaristi di gereja menurun. Mereka yang pergi ke gereja adalah orang-orang yang mempunyai pakaian yang layak itupun dipakai secara bergantian. Sekolah-sekolah milik gereja yang sering disebut sekolah Misi ditutup. Gedung-gedungnya digunakan sebagai markas militer tentara Jepang.
            Keadaan Gereja Katolik menyesuaikan dengan kondisi sosial politik pada zamannya. Kondisi berubah pada saat Jepang menyerah pada sekutu setelah kota Nagasaki dan Hiroshima dijatuhi bom atom oleh Amerika Serikat. Para pejuang kemerdekaan di Jakarta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia yang diwakili Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta. Dengan begitu Hindia Belanda sudah tidak ada lagi melainkan Republik Indonesia. Seiring dengan kemerdekaan Indonesia, dua sekolah Misi dibuka kembali. Dua sekolah yang disebut sekolah kanisius tersebut yaitu sekolah kanisius Klepu dan kanisius Ngapak. Kedua sekolah ini dibuka atas peran Ibu Muslimah dan Bapak Hardja Adisoemarto di Klepu serta Bapak A. Salekan dan Bapak P. Sudono di Ngapak.

Masa Perang Kemerdekaan (1945-1949)
            Selepas pendudukan Jepang, Belanda ingin kembali menjajah Indonesia. Situasi ini tentu saja menjadikan masyarakat secara umum dan khususnya umat Katolik terus bergejolak mengingat agama Katolik diperkenalkan oleh orang-orang Belanda. Mgr. Albertus Magnuss Soegijopranoto, SJ, uskup pribumi pertama di Indonesia menyatakan berpihak pada kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, banyak umat katolik yang berjuang membela kemerdekaan Indonesia, sebagian dari mereka bahkan dikenal sebagai pahlawan kemerdekaan seperti Adisutjipto di Yogyakarta dan Slamet Rijadi di Surakarta. Mgr. Soegijopranoto pun kelak diangkat sebagai pahlawan nasional. Keberpihakan Gereja Katolik diwujudnyatakan dengan pemindahan pusat Keuskupan dari Semarang ke Yogyakarta seiring perpindahan Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta.
            Kondisi sosial umat Gereja Klepu tidak jauh berubah. Umat tetap miskin karena perang. Sepanjang jalan digali lobang-lobang dan diberi rintangan agar tidak bisa diakses tentara Belanda. Jembatan-jembatan diputus. Bangunan-bangunan dihancurkan dan dibakar agar tidak bisa digunakan sebagai markas tentara Belanda. Pintu-pintu gereja Klepu pernah dibongkar paksa oleh masyarakat karena kekhawatiran bahwa gereja akan dijadikan markas tentara Belanda. Romo yang bertugas di Stasi Klepu saat itu, J. van Lingoed, SJ sangat marah. Romo van Lingoed menyatakan bahwa gereja Klepu tidak akan digunakan sebagai markas tentara Belanda karena mereka menganggap gereja sebagai Bait Allah. Kemudian, masyarakat percaya dan pintu-pintu gereja dipasang kembali. Panewu Pamong Praja (Camat) Moyudan saat itu yang juga seorang Katolik ikut menjaga agar gereja Klepu aman dari pembakaran. Selain ikut menjaga gereja dari perusakan kedua belah pihak, bapak camat yang selalu menyamar saat ke gereja ini juga ikut bergabung dengan pasukan gerilya.
            Walaupun umat Katolik banyak yang berperang, perayaan ekaristi tetap berlangsung setiap minggunya. Pada masa ini para romo yang melayani di gereja Klepu banyak dan berganti-ganti dan tidak ada yang menetap di gereja Klepu.

Dari Stasi Klepu ke Paroki Klepu (1950-1975)
            Tahun 1950 Romo van Lingoed mempelopori pembangunan gereja baru di sebelah barat gereja lama. Pembangunan baru dimulai tahun 1951. Gereja membeli bongkaran bangunan pabrik gula di Padon dan Rewulu untuk timbunan lantai gereja yang baru. Bangunan gereja baru berpondasi sedalam 2 meter. Tanah galian pondasi tersebut digunakan untuk memperbaiki jalan yang berlobang sepanjang Godean sampai Ngapak.
            Bangunan gereja baru tersebut selesai dikerjakan pada setahun kemudian, tahun 1952, bulan Desember. Perayaan natal pertama di gereja yang baru dilaksanakan di gereja ini yang beratapkan anyaman bamboo. Pada perayaan natal tahun 1952 menempati gereja baru, ekaristi dipimpin oleh J. Zoetmoelder, seorang romo yang dikenal sebagai ahli kebudayaan jawa. Pada waktu itu, Romo Zoetmoelder baru memperdalam Bahasa Jawa. Setahun sesudahnya, pada tanggal 23 Agustus 1953, gereja baru ini diberkati oleh Uskup Mgr. Soegijopranoto, SJ.
            Justru setelah bangunan gereja bisa digunakan dengan baik, kesehatan Romo van Lingoed menjadi menurun. Oleh karena itu, ada romo yang dating untuk menggantikan Romo van Lingoed sebagai ‘Gembala umat’, sedangkan Romo van Lingoed dating setiap sabtu-minggu. Romo baru yang bertugas yaitu P. van Wurkens, SJ.
            Masa penggembalaan Romo van Wurkens dikenang dengan pendirian SMP di Klepu. SMP ini kemudian menjadi SMP Kanisius Klepu. Perkembangan sekolah-sekolah menengah di lingkup gereja berkembang pesat pada masa ini. Karena sudah tidak mampu menampung murid, maka dibuka SMP Santo Yusup yang melaksanakan kegiatan belajar di gedung SMP Kanisius pada sore hari pada tahun 1956. Setahun sesudahnya, 1957, dibuka SMP baru di Godean dengan nama SMP Santo Albertus.
            Romo van Wurkens bertugas sampai tahun 1955 bulan Agustus. Ketika Romo van Wurkens pindah tugas, di Klepu masih sedang proses pembangunan gedung pastoran yang terletak berseberangan jalan dengan gereja Klepu. Romo baru yang menggantikan, S. Hardaparmoko, SJ adalah romo yang bertugas menjadi romo gembala di Klepu sekaligus Sedayu. Romo Hardaparmoko bertugas di Klepu dibantu oleh Bruder M. Tirtasumarta, SJ dan Frater B. Pudjarahardja yang kemudian menjadi Uskup Ketapang.
            Pada masa penggembalaan Romo Hardaparmoko, pengembangan keorganisasian masyarakat berkembang dengan munculnya banyak organisasi di lingkup Stasi Klepu dan Sedayu. Umat Katolik pada masa ini sarat dengan dunia keorganisasian seperti: PGK, MKI, WK,dsb. Dalam dunia politik, Partai Katolik muncul pada masa ini. Beberapa umat Katolik di Klepu dan Sedayu banyak terlibat dalam aktivitas politik misalnya bergabung dengan Partai Katolik. Para aktivis organisasi ini kemudian menjadi aktivis di gereja.
            Romo Hardaparmoko dikenal sebagai Bapak pendiri Paroki Klepu. Pada tahun 1955, Stasi Klepu-Ngijon resmi menjadi Paroki Klepu. Dengan demikian Romo Hardaparmoko menjadi romo pertama Paroki Klepu. Romo Hardaparmoko meninggalkan Paroki Klepu pada tahun 1960, dan digantikan oleh Romo T. Wignyosupatmo, SJ. Bruder Tirtasumarta tetap tinggal di Paroki Klepu.
            Situasi sosial ekonomi tahun 1960-an cukup memprihatinkan. Masyarakat mengalami krisis pangan seperti pada masa penjajahan Jepang. Di sekitar Gereja Klepu, sawah-sawah mengalami kekeringan dan gagal panen. Romo Wignyosupatmo mengajak umat untuk berdoa mohon hujan dengan berkeliling sawah, dari Klepu utara menuju Danten, Sumber, Kalawenang kemudian sampai kembali ke Klepu. Situasi politik juga memanas seiring dimunculkannya Trikora oleh Presiden Soekarno untuk merebut Irian Barat. Ditengah situasi sosial ekonomi politik yang sedang memanas tersebut, Romo Wignyosupatmo mendirikan SMA Albertus di Klepu. Tahun 1962, Romo Wignyosupatmo diganti oleh Romo I.M. Haryadi, Pr, bekas pastor militer yang baru saja bertugas bersama pasukan Garuda. Romo Haryadi adalah romo projo pertama yang bertugas di Paroki Klepu.
            H.A.M. Taks, SJ, seorang romo berkebangsaan Belanda yang dating menggantikan Romo Haryadi setelah 2 tahun bertugas di Klepu. Romo Taks bertugas di Klepu dari tahun 1964-1975. Romo Taks  adalah pastor paroki yang terlama menggembalakan umat di Paroki Klepu. Dalam kurun waktu 10 tahun tersebut, Romo Taks membawa banyak perubahan di Paroki Klepu. Berbagai kebijakan Romo Taks sangat mempengaruhi sistem pengelolaan umat di Paroki Klepu. Sistem tersebut masih dipakai dan dikembangkan selepas Romo Taks meninggalkan Paroki Klepu.  
            Langkah awal yang dilakukan oleh Romo Taks yaitu pendataan umat di tiap-tiap stasi/kukuban. Setelah pendataan, Romo Taks mengusahakan buku-buku yang mendukung kehidupan rohani. Proses selanjutnya, penggantian istilah stasi/kukuban menjadi kring. Ada 43 kring di lingkup Paroki Klepu. Pembagian kring dilaksanakan dengan pertimbangan jumlah umat dan pembagian wilayah pemerintah. Setiap kring dipimpin oleh Ketua Kring yang bertanggung jawab kepada pengurus PHP (Pengurus Harian Paroki). Setiap umat katolik diwajibkan mempunyai NPWP (Nomor Pajak Wajib Paroki). Kartu NPWP didistribusikan oleh sekretaris dan bendahara. Dibawah ketua, ada 9 Tim Kerja yang masing-masing mempunyai kepengurusan serta agenda tersendiri. Pencatatan pun menjadi lebih administrative. PHP mempunyai agenda untuk mengadakan rapat rutin. Rapat dipimpin sendiri oleh Romo Taks.
            Soal keuangan, Romo Taks menekankan kemandirian ekonomi. Sumber keuangan paroki berasal dari dana yang diberikan oleh masing-masing keluarga. Dana yang diserahkan tiap bulan dimasukkan kedalam amplop yang dinamakan Pisungsung kagem Gusti. Dengan begitu umat diberdayakan untuk bertanggung jawab dengan keuangan paroki.
            Romo Taks juga berinisiatif untuk membangun kembali bangunan pastoran yang mulai rusak. Bangunan didesain sendiri oleh Romo Taks sekaligus bertindak sebagai pelaksana. Dalam waktu 1 tahun (1965-1966), pastoran baru sudah jadi dan siap digunakan.
            Bersamaan dengan pembaruan yang terjadi di dalam Gereja Katolik paska Konsili Vatikan II, tata liturgy dan peribadatan di Klepu juga dirubah. Dalam ekaristi yang tadinya Romo membelakangi umat, dibalik sehingga romo dan umat bisa berhadap-hadapan. Secara resmi, Bahasa Jawa sudah digunakan dalam ekaristi menggantikan Bahasa Latin. Penyelenggaraan ekaristi tidak lagi berpusat di gereja Klepu tapi juga dilaksanakan di Kring-kring. Pelajaran agama tetap berlangsung. Untuk meningkatkan minat remaja agar mendaftar ke seminari, para Putra Altar diberi kursus bahasa Inggris oleh Romo Taks.
            Situasi ekonomi yang tidak menentu menyebabkan masyarakat mengalami kekurangan bahan pangan dan pakaian. Tergerak oleh keprihatinan ini, Romo Taks mendatangkan bahan pangan dari luar negeri. Dibantu oleh para ketua kring, bahan pangan dibagikan kepada umat dengan hanya mengganti ongkos kirim sehingga biayanya bisa murah. Pakaian bekas didatangkan dari para donator. Karena layanan listrik belum masuk pedesaan, penerangan masih minim, oleh karena itu, Romo Taks memesan lampu petromaks langsung dari pabriknya di Jerman untuk dibagikan kepada umat di masing-masing Kring.
            Umat didorong untuk lebih produktif. Dimulai dengan diberi contoh beternak ayam ras petelur di pastoran, banyak umat yang kemudian menirunya. Pemasarannya diupayakan oleh Romo Taks sendiri dengan menjalin relasi dengan toko-toko roti di kota sehingga para peternak bisa menjadi pemasok. Setelah semakin banyak umat yang beternak ayam ras petelur, Romo Taks mengurangi jumlah ternak ayam di Pastoran menjadi sedikit demi sedikit sampai habis sehingga lebih berfokus pada pendampingan para peternak ayan dan pengelolaan koperasi simpan pinjam. Tidak adanya sarana kesehatan yang memadai juga membuat Romo Taks menjadi pelopor berdirinya Politeknik Panti Baktiningsih. Dengan meminta bantuan para suster Charitas di Palembang. Poliklinik dibangun di tanah sebelah utara pastoran yang dibeli oleh Gereja. Poliklinik ini yang kemudian berkembang menjadi Rumah Sakit Panti Baktiningsih. Pendirian poliklinik ini dilanjutkan dengan pengerasan jalan menuju ke Poliklinik. Dengan didirikannya poliklinik ini, orang yang sakit tidak lagi dibawa ke kota karena sebelumnya Romo Taks memesan mobil dari Perancis sebagai sarana transportasi.
            Setelah kebijakan pemerintah paska G30 S dan pelarangan PKI, masyarakat diwajibkan untuk mempunyai agama. Tahun 1967, jumlah babtisan di Gereja Klepu meningkat tajam. Lebih dari 1000 orang yang bersedia dibabtis. Dengan begitu, jumlah umat pun semakin banyak.

Berkembangnya Paroki Klepu (1975-2000)
Selepas kepindahan Romo Taks ke Paroki Delanggu tahun 1975, perkembangan paroki Klepu terus berlanjut. Di bidang pendidikan, sempat didirikan beberapa sekolah setingkat SMA yaitu: SMA Albertus Godean, SPG Albertus Klepu, SMA Santi Dharma Godean, SPG Budi Mulia Padon, SMEA Naraputra-Daratan. Pelayanan ini dibantu oleh peran para bruder Budi Mulia (BM) dan suster-suster Hati Kudus yang memulai karya di Paroki Klepu.
            Dekade 80an Paroki Klepu jumlah babtisan setiap tahunnya tinggi. Lebih dari 500 jiwa setiap tahunnya mengikuti babtisan, sudah termasuk yang babtisan bayi. Kapel Pojok yang tadinya dijadikan tempat pelayanan umat di Kelurahan Sendangagung dan sekitarnya ditingkatkan statusnya menjadi gereja Pojok. Dengan demikian, di Paroki Klepu terdapat 2 gereja dan kapel-kapel lain yaitu Kapel Gatak, Kapel Kleben, Kapel Godean, Kapel Ngento-ento, Kapel Sejati, dan Kapel Daratan.
            Tahun 1986, di Jitar didirikan ziarah bernama Sendang Jatiningsih. Tempat ziarah yang tadinya diperuntukkan untuk umat di sekitar Jitar dan Pingitan ini kemudian dikenal luas. Sendang Jatiningsih selanjutnya menjadi tempat ziarah dikenal di lingkup Yogyakarta. Pada periode ini, peran romo-romo Jesuit mulai dikurangi. Romo M. Supriyanto, Pr adalah romo projo pertama yang memimpin Paroki Klepu setelah diserahkannya tongkat penggembalaan dari Serikat Yesus (SJ) ke Keuskupan Agung Semarang (KAS).

Paroki Klepu saat ini (2000-2012)
            Paroki Klepu mengalami perkembangan dalam hal jumlah umat. Jumlah umat mencapai 9000 orang. Umat tidak hanya beribadah di gereja pusat (gereja klepu) tapi juga di kapel-kapel. Atas inisiatif Romo M. Nurwidi Pranoto, Pr pada perayaan 75 tahun Paroki Klepu tahun 2005, jumlah lingkungan yang tadinya 53 lingkungan dimekarkan menjadi 81 lingkungan. Pemekaran lingkungan ini terus dikaji, 4 tahun setelahnya (2009), jumlah lingkungan dimekarkan lagi menjadi 83 lingkungan.
            Paroki Klepu sebagai ‘Gudang Panggilan’. Berdasar catatan sampai tahun 2010, umat Paroki Klepu yang terpanggil menjadi rohaniwan dan rohaniwati sudah mencapai lebih dari 200 orang. Beberapa rohaniwan bahkan dikenal sebagai tokoh-tokoh katolik Indonesia, seperti Mgr. Justinus Darmoyuwono, SJ, Kardinal pertama Indonesia; Mgr. Julianus Sunarko, SJ, Uskup Purwokerto; dan Mgr. Aloysius Sudarso, SCJ, Uskup Agung Palembang.
            Keprihatinan yang dirasakan oleh umat Paroki Klepu yaitu menurunnya minat remaja Paroki Klepu untuk mendaftar seminari. Oleh karena itu, sejak 2007, Dewan Paroki Klepu mengadakan program-program yang berkaitan dengan peningkatan minat panggilan.
            Di bidang sosial ekonomi, Romo E. M. Supranowo, Pr mendirikan Credit Union (CU). Minat masyarakat baik umat katolik maupun umum untuk menjadi anggota CU meningkat. Perkembangan selanjutnya, CU membuka kantor pelayanan di sebelah timur gereja klepu. Sarana fisik juga dikembangkan dengan dibangunnya pastoran baru yang menjadi komplek gedung pelayanan pastoran. Inisiatif ini diambil oleh Romo F.X. Murdisusanto, Pr. Saat ini gereja klepu telah memiliki gedung pastoran yang baru. Kantor pelayanan CU juga berada di komplek pastoran baru yang berada di sebelah barat gereja klepu.
Sumber : Buku 80 tahun PAroki Klepu.

2 comments on "Sejarah Paroki Klepu"

Lucia Astri on September 4, 2012 at 12:00 AM said...

waw..keyeennnn....wes berpuluh2 halaman ki mesti..hahaha... :p

wahyu cahyani on September 4, 2012 at 12:13 PM said...

haahahaaaay,,,,, ya iyalaaaaaaaaaaaaaaaah kakaaaaks :D

Post a Comment

 

keep smile n full spirit ^ Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Blogger Template Sponsored by web hosting