“Waaaahhhh…
tanganku terkena getah karet!”, kata Tania kepadaku. Sambil membawa tas, aku
mendekatinya, “Ahe, bah…?”, sahutku. Tania tak menjawab, ia hanya menunduk dan
memegangi tangannya yang terkena getah karet. “Cuci tangan saja sana!”,
suruhku. Lalu Tania beranjak dari tempatnya dan menuju ke kamar mandi. “Kak
Bujaaaaang!”, terdengar suara dari arah kamar mandi. Lalu aku menuju ke sana,
“Aooookkk, baaaah… Apa lagi?”. Ternyata Tania takut sendiri, jadi aku disuruh
untuk menemaninya. “Hehe…Dasar, anak pemberani”, kataku.
Tania
berasal dari Jakarta. Ia mengikuti kegiatan live
in di daerahku Sintang, Kalimantan Barat. Pagi ini ia ikut mengambil getah
karet di kebun sebelah rumahku. “Sudaaah Kak Bujang…hehehe..”, katanya setelah
mencuci tangan. “Iya… ayo makan dulu..
Bapak dan emak sudah menunggu di dalam”, seruku sembari masuk rumah.”Aok bah”,
katanya. “Wah, sudah pandai benar pakai bahasa Dayak”, kata emak tiba-tiba.
Tania terkejut, “Haa… emak. Aku kan belajar dari kak Bujang, hehee”. Emak sudah
mempersiapkan masakan sejak tadi pagi. Hari ini emak membuat bubur pedas, ikan
goring, dan sambal. “Hmm…sedapnya”, aroma masakan emak kian menyengat hidungku.
Lalu aku segera mengajak Tania untuk makan, “Tania, ayooo sini makan dulu”.
“Oke kak…”, serunya.
Tania
memang baru pertama kali ke Kalimantan. Jadi ia sangat antusias untuk mengikuti
kegiatan ini. “Kak, emak, bapak, Tania sudah siap”. Bapak merapikan koran yang
ia baca, “Ya… baik. Sekarang nak Tania memimpin doa makan ya”. Tania pun
memimpin doa makan. “Nah, ini namanya bubur pedas”, kata emak. Tania merasa
heran dan bertanya-tanya, “Bubur pedas??? Tania pikir ada bubur dan sambal
pedasnya”. Emak lalu menjelaskan pada Tania, “ Ini daun pakis, lalu dimasak dan
dicampur dengan beras. Enak lo.. ayo dicoba dulu”. Tania mengambil piring lalu
mulai menikmati makanan yang dimasak oleh Emak, “Hm… nyam nyam… enak mak, ikan
gorengnya juga enak.. semuanya enak!”
Setelah
kenyang, aku keluar rumah dan kembali ke kebun karet. “Kak Bujang, mau
kemana?”, tanya Tania. “Aku mau melihat getah karet tadi. Mau ikut kah?”, tanyaku
padanya. “Oh, ya. Nanti Tania susul ya kak. Sekarang Tania mau bantu emak cuci
piring”, katanya. “Okee”, jawabku. Aku melihat pohon karet satu per satu. Getah
itu akan dikumpulkan lalu dijual. Tiba-tiba ada Rani, temanku, “Bujaaaang, ayo
ajak Tania mengambil getah karet di ladangku!. “Ayoooo…. Siapa takut?”,
sahutku. Tania lalu keluar dan mendekati Rani, “Kak Rani juga punya kebun karet
ya”. Kemudian aku dan Tania menuju ke kebun karet milik Rani. Sesampainya di
sana, Rani sudah menyiapkan tempat untuk menampung getah karet itu. Kami
bersama-sama mengambil getah karet di setiap pohon untuk dikumpulkan menjadi
satu. “Asyiiiiik….”, seru Tania. Aku dan Rani heran. “Kamu kenapa, Tania?
Sepertinya senang sekali? Hehe..”, kataku. “Iya kak Bujang, di Jakarta aku
tidak bisa bermain-main di kebun. Sebelah rumahku sudah menjadi gedung-gedung
bertingkat. Tidak ada lagi kebun buat bermain”, katanya dengan perasaan sedih. “Sudahlah,
ayooo ambil lagi penampung getah karetnya!”, kata Rani berusaha untuk
menghiburnya. “Aok kak, hehee”, jawabnya. Setelah itu kami menjual getah karet.
“Saat ini harga pasaran getah karet sedang menguntungkan”, kata Rani. “Waaah,
begitu ya.. Senangnya…”, sahut Tania. Aku juga sudah menjual getah karet yang
sudah aku kumpulkan. “Aku ingin beli handphone dari hasil penjualan getah karet nih”, kataku tiba-tiba. “Ayo kak, aku
antar”, sahut Tania.
Dengan
membawa sejumlah uang yang cukup banyak di dalam tas jeraminya, aku berangkat
dari kampung menuju kota terdekat untuk membeli handphone di toko handphone
terbesar di kota itu. Aku berkata, “Tolong Pak, saya mau beli handphone”.
Penjaga toko melayani dengan ramah, ”Ehm, ingin handphone yang seperti
apa? Merk apa dan tipe berapa?”, sahut penjaga toko dengan raut muka bingung.
Aku
pun bingung mau menjawab apa, karena aku tidak mengerti mengenai tipe dan macam
handphone. Namun akhirnya dengan yakin aku menjawab, “Saya mau membeli handphone
yang paling mahal”. Dengan enggan dan masih tidak percaya penjaga toko
mengambilkan handphone yang diminta dan menyebutkan sejumlah harga.
Tanpa ragu aku pun membayarnya. Penjaga toko berkata, “Handphone ini
belum bisa dipakai bila belum ada pulsanya”, terang penjaga toko dengan senyum
ramah. ”Oh, yasudah berikanlah pulsa”, jawabku dengan bangganya. “Mau pulsa
yang berapa?”, sahut penjaga toko. Kali ini tanpa ragu aku langsung menjawab,
“Saya beli pulsa yang paling mahal saja”. Dengan senyum yang makin mengembang
penjaga toko memberikan pulsa dengan pecahan paling besar.
Beberapa
saat kemudian penjaga toko bertanya, “Oh iya, memang di daerah Anda ada
sinyal?” Setelah berpikir beberapa saat, aku menjawab “Sepertinya tidak ada”,
karena memang aku belum pernah mendengar nama tersebut. “Oh, berarti handphonenya
tidak bisa digunakan karena tidak ada sinyal”, terang penjaga toko dengan raut
muka kasihan. Kemudian dengan yakin dan lantang aku berkata “Ya sudah, saya
juga beli sinyal yang paling mahal”.
Tania
yang mendengar pembicaraan itu tertawa. Namun, hal itu menunjukkan bahwa
ternyata orang Dayak memiliki sikap ramah dan dapat menjalin relasi dengan
baik. “Bujang…Bujang, kalau tidak ada sinyal berarti tidak bisa digunakan”,
kata Tania. Aku lalu berkata, “Wah.. begitu ya..hehehe.. ya sudahlah.. ayoo
kembali ke rumah saja”. Penjaga toko itu dengan ramah berkata,” Kalau ingin
menghubungi saudara lain, ke sini saja. Di daerah ini sudah ada sinyal kok”. Aku
menjawab, “Wah… iya, Pak. Terima kasih banyak yaa..”
Akhirnya
kami berdua kembali ke rumah. Tania harus bersiap-siap untuk kembali ke
Jakarta. “Kak Bujang, terima kasih ya sudah menemani Tania bermain di kebun
karet. Tania bisa tahu caranya untuk mengambil getah karet. Kak, Tania mau
kembali ke Jakarta”. Sebenarnya sedih juga melihat Tania akan meninggalkan
Sintang, “Pohon karet yang sudah kamu gores akan terus mengalirkan getah karet.
Nanti kapan-kapan main ke sini lagi ya, kita bermain di kebun karet lagi,
hehe..”
Emak
dan bapak memberikan beberapa oleh-oleh untuk Tania,
“Nak
Tania ini ada sedikit buah tangan dari emak dan bapak. Salam ya untuk keluarga
di Jakarta”, kata Emak.
“Terima
kasih ya, Mak”, kata Tania. “Bapak berikan biji karet ini ya. Kalau bisa coba
ditanam di sana”, lanjut bapak. Tania tersenyum, “Waah… makasih ya, Pak. Tania
akan coba tanam di sana.” Tania akan membawa pengalamannya di kebun karet
hingga ke Jakarta. “Hati-hati ya, Tania. Jangan lupakan kebun karet dan juga
Sintang”, kataku. “Tentu kak Bujang”, jawabnya.
0 comments on " Cerpen "Bermain di Kebun Karet" "
Post a Comment